"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Monday, April 4, 2011

Belajar dari Traffic Light


…mungkin cucu tersebut baru saja mendapat pelajaran di sekolah tentang ”kesepakatan” warna lampu lalu lintas. Merah berarti berhenti, kuning tanda untuk bersiap-siap, dan hijau kendaraan boleh melanjutkan perjalanan….

Teringat sebuah cerita tentang kakek dan cucunya. Suatu hari seorang kakek mengajak cucunya untuk berjalan-jalan. Saat perjalanan pulang, ketika mobil mereka dekat dengan lampu lalu intas yang telah menunjukkan warna kuning, sang cucu berkata pada kakeknya untuk berhati-hati. Tepat ketika mobil sampai di bibir batas lampu, warna kuning telah berganti merah, namun karena mobil telah sedikit melewati dan kendaraan dari arah berlawanan masih belum mulai jalan kakek terus melanjutkan perjalanan. Lalu sang cucu mulai berkomentar, ”lho lampu merah kok terus, kan harusnya berhenti???”. Komentar yang menurut kakek hanya sebuah komentar itu tidak ditanggapi, sehingga selanjutnya memang tak ada penjelasan dari kakek dan cucu terdiam dengan mimik wajah penuh dengan tanda tanya.
 
Dari cerita tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa mungkin cucu tersebut baru saja mendapat pelajaran di sekolah tentang “kesepakatan” warna lampu lalu lintas. Merah berarti berhenti, kuning tanda untuk bersiap-siap, dan hijau kendaraan boleh melanjutkan perjalanan. Sedangkan kakek, mungkin karena telah banyak makan asam garam dan belajar dari asinnya rasa garam tersebut, ia bisa mengira bahwa ketika lampu telah merah namun kendaraan telah lewat batas berhenti, maka kendaraan boleh lewat karena ia telah memperhitungkan dengan baik bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin kakek telah memperhitungkan secara fisika masalah kecepatan, jarak, waktu, momentum, dan rumus-rumus lain yang ia dapatkan dari asinnya garam tadi. Atau memang telah ada kesepakatan bila antar sesama pengguna jalan tentang hal ini?. Yang pasti kita harus tetap ingat akan mimik wajah cucu kakek tersebut yang masih menunggu penjelasan.

Membicarakan lampu lalu lintas, mungkin lebih baik kita mengerti dahulu tentang sejarah munculnya lampu ini. Lampu lalu lintas ini merupakan sebuah solusi yang disampaikan polisi di London William Potts, Pots melihat adanya ketidakberesan atau kekacauan lalu lintas di jalan yang semakin hari semakin memusingkan, akhirnya dia membuat sebuah lampu dengan tiga warna seperti yang dikenal sampai saat ini. Namun yang akhirnya dipatenkan adalah karya Garrett Morgan, karena hasil karyanya yang mampu menarik perusahaan GE (General Electric) yang membeli hak paten dan memproduksi lampu secara massal. Sebenarnya, kita tak juga harus meributkan sejarah lampu lalu lintas yang ternyata juga lumayan “ribut”, karena apapun sejarah tersebut kita patut berterima kasih karena dengan adanya lampu tersebut jalanan menjadi lebih terkendali. Seperti tujuan awal lampu ini adalah untuk mengendalikan lalu lintas.
 
Tapi, manusia memang makhluk kita sendiri sebagai manusia tidak bisa memprediksi isi pikirannya. Kita bisa mengetahui isi samudra yang dalamnya rimuan meter namun kita tidak bisa menyelami isi pikiran manusia yang tak bahkan tidak ada satu meter dalamnya. Manusia dengan begitu hebatnya membuat sebuah jalan keluar dari masalah mereka. Namun manusia jug seringkali terjebak dengan pikiran mereka sendiri. Kita terkadang menerobos lampu merah, dimana mereka seharusnya berhenti sebelum membuat semuanya menjadi kacau. Ada saatnya kita harus memberikan lampu hijau untuk orang lain karena memang bukan waktu untuk kita, dan kita juga harus selalu bersiap-siap mengetahui apa selanjutnya yang harus mereka lakukan karena lampu kuning dalam diri mereka sedang menyala.
 
Kalau kita perhatikan lampu merah ini juga bisa kita analogikan sebuah konsep Freud yang dikenal dengan Ego, Id, Superego. Lampu merah merupakan unsur normatif dimana kita harus bertindak sesuai dengan konstruksi masyarakat dan sesuai norma, kita harus membuat diri kita sesuai dengan apa yang orang lain mau. Lampu hijau adalah hasrat manusia yang ingin bebas, dan melakukan apa saja. Sedangkan lampu kuning adalah jempatan antara hasrat diri dan tindakan normatif. Ketika kita bisa mengendalaikan lampu lalu lintas dalam diri kita sendiri, bisa dikatakan bahwa kita telah berhasil melakukan semuanya sesuai jalan. Tidak ada salahnya kita belajar dari traffic light.

Lampu sudah hijau, saatnya melanjutkan perjalanan anda…..

@ home, 30 Januari 2010, 10.33 wib

0 komentar:

Post a Comment

Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.