"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Monday, April 18, 2011

MENGETAHUI, MEMAHAMI, dan MEMAKNAI

source: tumblr.com
Kita mungkin mengetahui segala hal yang ada di muka bumi ini, namun pernahkan kita memahami dan memaknainya? mungkin kita tidak memahami namun bagaimana bisa kita memberikan makna subjektif? haruskah kita mengetahui segalanya? memahami dan memaknainya? atau kita harus pasif, lebih baik tak tahu apa-apa daripada kita akan dibuat pusing masalah pemahaman dan pemaknaan.

Semoga paragraf diatas tidak membuat kalian pusing, atau berpikir bahwa itu adalah sebuah pembukaan dari ceramah agama, atau apapun yang membingungkan. Ketiga istilah tersebut memang istilah umum, kita sering mendengar, dan menggunakannya. Namun mungkin kita tidak pernah benar-benar memahami istilah tersebut. Kita perlu ingat lagi bahwa kata bisa jadi bukan hanya sebuah kata-kata namun ada suatu hal yang kompleks dibaik setiap kat-kata. Well, mungkin kita berpikir pembahasan ini akan semakin ruwet dan kompleks. Mari kita analisis satu per satu kata-kata tersebut.

Apakah anda mengetahui arti MENGETAHUI?
Apakah anda memahami arti MEMAHAMI? 
Apakah anda memaknai arti MEMAKNAI?
(sounds crazy huh??)

Sebenarnya permasalahan ini muncul karena pertanyaan seorang teman, ketika ia ujian skripsi, ia ditanya tentang penggunaan terminologi kata pemaknaan dan pemahaman. Dia disuruh memilih untuk menggunakan istilah yang mana, dan ia juga ditanya apakah dua istilah tersebut berbeda?. Menurut dosen yang bertanya dua istilah tersebut mempunyai arti yang sama, ia menjelaskan bahwa ketika seseorang memahami sesuatu maka ia pasti bisa memaknainya. 1st case is closed!??.

Namun, teman saya lalu bertanya pada saya dan teman saya yang lain, dan kita berdua sepakat bahwa hal tersebut tidak sama, teman saya berkata bahwa dua istilah tersebut merupakan suatu tahapan, kita akan memahami terlebih dahulu baru bisa memaknai. Teman saya yang bertanya lalu mengatakan penjelasan yang diberikan dosennya, bahwa ketika seseorang memahami, maka ia akan bisa memaknai. Lalu saya bertanya apakah ketika seseorang memaknai sesuatu pasti memahaminya?. Perdebatan akhirnya menyimpulkan bahwa dua hal istila itu berbeda, orang yang memahami sesuatu kadang belum tentu bisa memaknainya. 2nd case is closed!!.

Keesokan malamnya teman saya mengirim sms dan masih menanyakan pertanyaan yang sama, ia sedang melakukan revisi skripsi dan lupa dengan kesimpulan masalah pemaknaan dan pemahaman tersebut. Dan karena saya juga lupa-lupa ingat, maka saya menjawab seingat saya saja. Namun setelah menjawab sms tersebut saya justru memikirkan jawaban saya tadi. Akhirnya saya berhenti sebentar dari kegiatan melanjutkan skripsi saya untuk kembali memikirkan jawaban saya tadi. Lalu saya mengirim sms lagi kepada teman saya, saya bilang bahwa seseorang bisa juga memaknai sesuatu meskipun ia tidak memahaminya. Teman saya lalu menjawab ”bagaimana mungkin bisa memaknai kalau tidak memahami”??. Baiklah “kita bisa ambil contoh anak kecil, ia terkadang tidak memahami suatu hal, tapi ia punya pemaknaan sendiri kan akan hal tersebut?”. Jawab saya. Lalu teman saya menanyakan terminologi mana yang seharusnya ia gunakan untuk skripsinya, dan saya menyarankannya untuk menggunakan Pemaknaan. 3rd case is closed??

Dari ketiga kronologis tersebut sebenarnya saya masih memikirkan tentang penggunaan istilah memahami dan memaknai. Permasalahan sepele namun menurut saya sangat urgent and important!. Saya lalu menambahkan satu istilah lagi yaitu Mengetahui, istilah ini saya ikut sertakan untuk menguji apakah ketiga hal ini benar-benar merupakan sebuah tahap atau proses, atau ketiga istilah ini bisa berdiri sendiri-sendiri, atau mungkin justru ketiganya punya satu pengertian?. Dengan begini, 1st, 2nd, and 3rd case is not closed yet!!. Penjelasan selanjutnya adalah sebuah penjelasan yang berasal analisis saya sendiri. Saya tidak memaksa anda untuk mengikutinya atau dijadikan sebuah referensi, it’s so subjective!.

Bagi sebagian orang mungkin mereka berpikir bahwa saya terlalu memusingkan suatu yang sepele, membuat susah sesuatu yang mudah. Namun menurut saya ini tidak sepele dan memang sulit. Baiklah, kita langsung membuang kemungkinan bahwa tiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama, alasannya adalah kalau ketiganya punya arti yang sama tidak mungkin ada perbedaan istilah. Lagi pula penggunaannya juga berbeda.
            “saya Mengetahui bahwa dia anak yang pintar”
            “saya Memahami bahwa ia anak yang pintar”
            “saya Memaknai bahwa ia anak yang pintar”
Apakah menurut anda ketiga kalimat tersebut mempunyai arti yang sama?. Pada kalimat pertama mempunyai arti bahwa saya tahu bahwa dia pintar, mungkin dari melihat IPKnya, prestasinya, jadi apa yang saya ketahui sangat terbatas. Lalu di kalimat kedua saya paham ia pintar, disini bisa jadi saya lebih mengenal orang yang saya katakan pintar, saya memahami tidak hanya dari apa yang terlihat di luar atau bahkan dia tidak pintar secara akademis namun ia pintar dalam hal lain. Dan disini pintar menjadi sebuah pengertian yang subjektif, bukan absolute. Lalu ketiga saya memaknai seseorang pintar, proses memaknai ini bisa berasal dari alasan tersendiri, dan tiap orang bisa sangat berbeda dalam memaknai kata pintar.

Lalu saya lihat di kamus besar bahasa Indonesia, dimana mengetahui dengan kata dasar tahu berarti; 1. mengerti sesudah melihat, 2. Kenal (akan); mengenali, 3. Mengindahkan; mempedulikan, 4. Mengerti; berpengertian, 5. Pandai; cakap, 6. Insaf; sadar, 7. Pernah. Untuk kata memahami, berasal dari kata dasar paham yang artinya; 1. Pengertian, 2. Pendapat; pikiran, 3. Mengerti benar (akan); tahu benar (akan), 4. Pandai dan mengerti benar (dlm sesuatu hal). Terminology terakhir adalah memaknai yang berkata dasar makna ini memiliki pengertian; arti atau maksud (sesuatu kata). 

Baiklah, ternyata kapasitas saya hanya cukup sampai disini, karena saya tidak ingin membuat permasalahan termonologi ini semakin bertele-tele. Mungkin naluri sebagai anak seorang guru bahasa Indonesia dan sebagai mantan mahasiswa ilmu komunikasi yang membawa saya mempermasalahkan istilah-istilah tersebut. Untuk kesimpulan saya tidak akan menyimpulkan, karena semua kembali pada pengetahuan, pemahaman, dan pemaknaan tiap orang.  :)

Saya hanya berharap, semoga tulisan saya tadi tidak semakin membuat benang semakin kusut, and you're the one who can close this case!! thanks (sepertinya ketiga istilah ini membuat saya mabuk). 

-inspirasi dari brainstorming with my super girl sopitenk n mpok- @kostnya mpok jamnya lupa, yg pasti habis sopi kompre :D

Thursday, April 7, 2011

love is still unknown

maybe it was 2 weeks ago one of my friend told me about his love story. He said that his heart hurt so much. But it was 2 days ago i found he got a new girlfriend. I just shocked because it seems that finding a love is easy, or can i say is that a truly a love??
when he just need more or less 2 weeks to closed his past and start a new story, a love story.
Meanwhile, why do i need a long long time to forget about my past?
I always say to myself that time will heal everything, but how long?
Or maybe the term of time is different for each person, maybe my friend only need 2 weeks than for me maybe 2 years, or more???!!!

i do have no idea about love story, open this heart for somebody else is not an easy thing!
and i just can say that the meaning of love is still unknown!!

Monday, April 4, 2011

Idola: Sebuah filosofi mimpi

Tulisan ini berawal dari curhat seorang teman yang mendapat tanggapan sebelah mata beberapa orang ketika ia menceritakan akan idolanya. Namun curhat ini hampir sama dengan yang saya rasakan, sehingga sesi curhat jadi sharing. Saya sendiri juga sering mendapat komentar yang kurang sehat di telinga saya. Banyak teman-teman saya yang bukannya salah tapi tidak sependapat dengan saya, selalu berkata bahwa saya ini hanya bermimpi, mimpi yang tidak mungkin karena mimpi itu tidak masuk akal. Namun, menurut saya, tanggapan tersebut justru menurut saya tanggapan yang tidak masuk akal. Banyak orang yang mengidolakan SBY, meskipun saya tidak, namun ketika ada yang memuja SBY, saya bahkan tak punya keinginan untuk mencibir, mencela, atau apalah, karena menurut saya itu wajar.

Teman saya itu sangat mengidolakan apapun yang mempunyai unsur dan berbau korea. Sebut saja se7en yang dikatakan “mantan suaminya” lalu sekarang hongki “her pop corn” atau nama lain dari brondong. Dia merasa tidak ada yang salah dengan memberikan mereka stempel “idola” karena menurutnya dengan memiliki idola itu sama dengan memiliki mimpi, mimpi ingin bertemu idola, sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi. Dan saya sangat menyetujuinya. Teman saya yang lain juga berkomentar “Korea itu tidak jauh kita bisa kesana dan dengan kata lain bertemu dengan mereka itu sangat mungkin”. Saya juga menyetujui komentar ini, karena selama kita mengidolakan sosok yang masih berwujud sama dengan kita a.k.a manusia, kita masih sangat bisa menjangkaunya. Dari komentar teman saya itu saya juga berkata pada diri sendiri bahwa probabilititas itu ada.

Siapa tahu saya setelah lulus bisa sekolah di london?
Siapa tahu di London saya bertemu Beckham (idola sepanjang masa dan tiada tara)?
Atau teman saya tadi karena keinginannya bertemu idola akhirnya berusaha bisa bekerja di korea, banyak kan orang Indonesia yang bekerja disana!!!
Dan banyak sebuah mimpi akan idola, yang benar-benar terjadi…
Katie holmes, sebelum menjadi artis pernah berkata pada poster Tom Cruise yang tertempel di kamarnya, dia berkata kira-kira seperti ini “ we’ll get married”, dan itu terjadi.
Mira Lesmana, bicara pada foto matias mutchus di suatu majalah, “ini suami gue nantinya”. Dan ini juga terjadi.
Karena mereka tidak hanya diam bila punya idola, meskipun menurut orang-orang dan menurut kita itu tidak masuk akal.

Benar-benar tidak ada yang salah dengan mempunyai idola.
Selama kita bisa bersifat positif, idola juga akan memberikan efek positif. Adik teman saya saat ini sedang belajar drum karena dia edang mengidolakan pemain drum. Teman saya belajar bahasa korea agar dia bia berkomunikasi dengan idolanya. Teman saya lagi, belajar bahasa inggris sejak ia mengenal westlife dan ini sudah terbukti, she can speak well!!!
 
Sedangkan saya sendiri, selain mengidolakan beckham saya suka dengan Barra Pattiradjawane “si tukang masak” dan saya benar-benar ingin bisa masak, dan saya ingin sekolah masak, dan saya juga ingin punya sebuah coffeeshop atau kafe dengan makanan by myself. Masalah beckham sebagai idola saya sepanjang masa dan tiada tara, sejak dulu saya selalu ingin membuat buku tentangnya.

Apakah yang saya uraikan tadi masih harus dikomentari dengan sarkas? Menurut saya tidak ada yang salah dan tidak akan pernah salah dengan mempunyai idola, selama kita masih bisa berpikir rasional. Belajar bahasa korea karena mengidolakan artis korea, belajar masak karena mengidolakan seorang chef, belajar drum karena mengidolakan pemain drum. Bila seperti itu yang terjadi maka seorang idola jelaslah menjadi sebuah motivasi.

Belajar dari Traffic Light


…mungkin cucu tersebut baru saja mendapat pelajaran di sekolah tentang ”kesepakatan” warna lampu lalu lintas. Merah berarti berhenti, kuning tanda untuk bersiap-siap, dan hijau kendaraan boleh melanjutkan perjalanan….

Teringat sebuah cerita tentang kakek dan cucunya. Suatu hari seorang kakek mengajak cucunya untuk berjalan-jalan. Saat perjalanan pulang, ketika mobil mereka dekat dengan lampu lalu intas yang telah menunjukkan warna kuning, sang cucu berkata pada kakeknya untuk berhati-hati. Tepat ketika mobil sampai di bibir batas lampu, warna kuning telah berganti merah, namun karena mobil telah sedikit melewati dan kendaraan dari arah berlawanan masih belum mulai jalan kakek terus melanjutkan perjalanan. Lalu sang cucu mulai berkomentar, ”lho lampu merah kok terus, kan harusnya berhenti???”. Komentar yang menurut kakek hanya sebuah komentar itu tidak ditanggapi, sehingga selanjutnya memang tak ada penjelasan dari kakek dan cucu terdiam dengan mimik wajah penuh dengan tanda tanya.
 
Dari cerita tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa mungkin cucu tersebut baru saja mendapat pelajaran di sekolah tentang “kesepakatan” warna lampu lalu lintas. Merah berarti berhenti, kuning tanda untuk bersiap-siap, dan hijau kendaraan boleh melanjutkan perjalanan. Sedangkan kakek, mungkin karena telah banyak makan asam garam dan belajar dari asinnya rasa garam tersebut, ia bisa mengira bahwa ketika lampu telah merah namun kendaraan telah lewat batas berhenti, maka kendaraan boleh lewat karena ia telah memperhitungkan dengan baik bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin kakek telah memperhitungkan secara fisika masalah kecepatan, jarak, waktu, momentum, dan rumus-rumus lain yang ia dapatkan dari asinnya garam tadi. Atau memang telah ada kesepakatan bila antar sesama pengguna jalan tentang hal ini?. Yang pasti kita harus tetap ingat akan mimik wajah cucu kakek tersebut yang masih menunggu penjelasan.

Membicarakan lampu lalu lintas, mungkin lebih baik kita mengerti dahulu tentang sejarah munculnya lampu ini. Lampu lalu lintas ini merupakan sebuah solusi yang disampaikan polisi di London William Potts, Pots melihat adanya ketidakberesan atau kekacauan lalu lintas di jalan yang semakin hari semakin memusingkan, akhirnya dia membuat sebuah lampu dengan tiga warna seperti yang dikenal sampai saat ini. Namun yang akhirnya dipatenkan adalah karya Garrett Morgan, karena hasil karyanya yang mampu menarik perusahaan GE (General Electric) yang membeli hak paten dan memproduksi lampu secara massal. Sebenarnya, kita tak juga harus meributkan sejarah lampu lalu lintas yang ternyata juga lumayan “ribut”, karena apapun sejarah tersebut kita patut berterima kasih karena dengan adanya lampu tersebut jalanan menjadi lebih terkendali. Seperti tujuan awal lampu ini adalah untuk mengendalikan lalu lintas.
 
Tapi, manusia memang makhluk kita sendiri sebagai manusia tidak bisa memprediksi isi pikirannya. Kita bisa mengetahui isi samudra yang dalamnya rimuan meter namun kita tidak bisa menyelami isi pikiran manusia yang tak bahkan tidak ada satu meter dalamnya. Manusia dengan begitu hebatnya membuat sebuah jalan keluar dari masalah mereka. Namun manusia jug seringkali terjebak dengan pikiran mereka sendiri. Kita terkadang menerobos lampu merah, dimana mereka seharusnya berhenti sebelum membuat semuanya menjadi kacau. Ada saatnya kita harus memberikan lampu hijau untuk orang lain karena memang bukan waktu untuk kita, dan kita juga harus selalu bersiap-siap mengetahui apa selanjutnya yang harus mereka lakukan karena lampu kuning dalam diri mereka sedang menyala.
 
Kalau kita perhatikan lampu merah ini juga bisa kita analogikan sebuah konsep Freud yang dikenal dengan Ego, Id, Superego. Lampu merah merupakan unsur normatif dimana kita harus bertindak sesuai dengan konstruksi masyarakat dan sesuai norma, kita harus membuat diri kita sesuai dengan apa yang orang lain mau. Lampu hijau adalah hasrat manusia yang ingin bebas, dan melakukan apa saja. Sedangkan lampu kuning adalah jempatan antara hasrat diri dan tindakan normatif. Ketika kita bisa mengendalaikan lampu lalu lintas dalam diri kita sendiri, bisa dikatakan bahwa kita telah berhasil melakukan semuanya sesuai jalan. Tidak ada salahnya kita belajar dari traffic light.

Lampu sudah hijau, saatnya melanjutkan perjalanan anda…..

@ home, 30 Januari 2010, 10.33 wib

30 jam

Terkadang aku masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi. Semua terjadi begitu cepat, bahkan aku kadang berpikir hal itu hanyalah sebuah mimpi, dan aku ingin tidur meneruskan mimpi itu lagi. Namun aku tahu bahwa aku bangun dan bahkan aku tidak tidur, karena segalanya benar-benar terjadi dalam hidupku meskipun hanya selama 30 jam.

Hari itu, aku masih ingat 25 November 2008, tepatnya hari selasa jam 10.30 saat mata kuliah kutukan ‘cultural studies ‘ sedang berlangsung sebuah sms masuk. Sms dari nomor yang tak kukenal berisi sebuah pemberitahuan bahwa aku masuk dalam tiga besar sebuah lomba bertaraf nasional. Aku masih tercengang karena sepertinya aku tidak ikut dalam kompetisi itu. Sepersekian detik, menit aku masih berpikir dan akhirnya memperoleh jawaban dari diriku sendiri bahwa aku memang peserta lomba tersebut. Lomba yang bertemakan “university challenge” itu adalah soal ujian untuk satu mata kuliahku. Dimana aku harus membuat sebuah proposal acara tentang AIDS, lalu proposal tersebut dikirim ke panitia lomba, sebuah produsen kondom yang menjadi sponsor di lomba tersebut. Akhirnya aku hanya bisa berteriak dalam hati “finally I made it”.

Saat itu juga aku memberitahukan kabar ini pada semua orang terdekatku, mulai dari teman dan keluargaku. Mereka juga senang dengan hal ini. Semua orang memberikan ucapan selamat dan berkata bahwa aku mendapat sebuah keberuntungan. Keberuntungan sebuah kata yang memang akan muncul dari mulut setiap orang, dan juga diriku sendiri. Keberuntungan memang, suatu hal yang tak pernah aku perhitungkan sebelumnya, aku bisa merasakan sebuah nikmat kehidupan yang bahkan tak pernah kubayangkan. Menikmati fasilitas di sebuah hotel internasional di kawasan Kuningan, Jakarta atau merasakan makan malam dengan harga yang melebihi ongkos kuliahku untuk satu semester. Aku memang sedang merasakan sebuah keberuntungan.

Namun, setelah aku berpikir bahwa semua yang kudapat ini hanya merupakan faktor keberuntungan, maka di lain waktu aku pasti tidak akan pernah merasakan itu kembali. Justru aku berpikir dan tanpa maksud untuk menyombongkan diri bahwa ternyata aku mampu. Dan ini berlaku untuk semua orang, ketika kita telah berkomitmen pada diri kita bahwa kita mampu melakukan hal yang terkadang melebihi kemampuan kita maka keberuntungan pun akan turut menyertai kita. Ketika kita telah berteriak bahwa kita bisa, maka bukan kita yang akan mencari keberuntungan, tapi keberuntungan yang akan terus mencari kita.

Percayalah, bahwa tuhan selalu mempunyai rencana untuk kita. Dan kita pasti bisa membuat rencana itu menjadi luar biasa.

Memaknai Bahasa

Pernahkah kita membayangkan bagaimana bila kita tidak mempunyai suatu bahasa?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana bila bahasa itu hanya mempunyai satu kata?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana bahasa mampu membuat kita terlihat pintar, atau konyol?
Mungkin saat ini perlu kita bayangkan dan kita pikirkan semua itu.


Ketika kita tidak mempunyai sebuah bahasa mungkin sampai saat ini kita hanya mampu berkomunikasi secara non-verbal, padahal kita sendiri tahu kalau non-verbal mempunyai bermacam arti di setiap tempat dan bisa dikatakan terbatas. Kita bisa mengatakan tidak dengan menggelengkan kepala, tapi ketika kita melakukan di India mereka punya arti sendiri, buat mereka gelengan kepala menunjukkan tanda persetujuan atau jawaban “iya”. Keterbatasn itu pula yang bisa akan membuat kita berselisih.


Bahasa hanya dengan satu kata?. Mengingatkan pada film ERRRRRR, sebuah film dengan latar belakang zaman sebelum masehi, masyarakat primitif yang  mempunyai nama sama dalam satu daerah. Maka ketika memanggil seseorang, justru banyak orang yang akan menoleh karena memiliki nama yang sama. Atau bila semua benda di dunia diberi nama hitam, maka ketika  ingin berkata “aku cinta kamu” yang keluar justru “hitam hitam hitam”. Alangkah menyedihkan bukan?.


Selanjutnya, bahasa mempunyai sebuah kekuatan yang akan menunjukkan siapa diri kita. Banyak istilah mengatakan “you are what you wear”, “you are what you eat”, dan istilah “you are what you say” akan menunjukkan bahwa pemilihan kata dalam berbahasa akan menunjukkan tingkat intelektualitas kita atau hanya show your stupidities.


Bersyukur Tuhan menciptakan dunia dengan dipenuhi keanekaragaman, dunia tidak hanya berbentuk satu daratan tanpa dipisah dengan laut dan samudera, manusia tidak hanya berasala dari satu ras dan suku, dan bahasa tidak hanya Bahasa Indonesia, tidak hanya Bahasa Inggris. Bahkan di Indonesia sendiri kita akan menjumpai beragam bahasa daerah karena Indonesia yang berbeda-beda namun tetap satu jua.


Sebuah cerita saat ada presentasi di satu mata kuliah mempermasalahkan tentang bahasa. Seorang mahasiswa dengan background dari keluarga Cina menanyakan kenapa Bahasa Inggris mampu menjadi bahasa Internasional mengingat jumlah masyarakat Cina lebih mendominasi populasi dunia. Permasalahan yang ada terjawab dengan mengingatkan bahwa sejarah memang tidak bisa kita lupakan. Ketika masyarakat dunia telah mengenal Bahasa Inggris, saat itu masyarakat cina belum dilirik oleh dunia (mungkin ini istilah kasarnya). Kita bisa mempermudah alasannya, Bahasa Inggris mampu menjadi bahasa Internasional bahkan sampai saat ini karena masyarakatnya telah lebih pintar dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan dibandingkan dengan masyarakat dari belahan benua lain. Budaya mereka termasuk sebuah budaya tinggi atau high culture, sebut saja musik klasik -yang mungkin bagi sebagian orang sebuah music nina bobo'- dianggap sebagai sebuah perwujudan musik yang dinikmati oleh orang-orang yang mempunyai kelas, sedangkan musik lainnya disebut sebuah budaya rakyat atau budaya populer.


Sampai saat ini orang yang menggunakan Bahasa Inggris akan dipandang “wah pintar ya”??. That’s the power of language. Kita bisa melihat lagi-lagi dari musik atau lagu dengan lirik Inggris akan terasa lebih prestise jika disbanding dengan lagu dengan lirik bukan Bahasa Inggris. Sebut saja lagu dari band-band melayu yang mendayu-dayu akan dikatakan kampungan, sedangkan band yang bisa membuat lagu dengan bahasa Inggris akan dikatakan keren. Mungkin sebaiknya kita lihat lirik lagu ini;


So many nights, I'd sit by my window,
Waiting for someone to sing me her song.
So many dreams, I kept deep inside me,
Alone in the dark, but now you've come along.


Sekarang kita coba terjemahkan dalam bahasa Indonesia;


Banyak malam kulalui dengan duduk di dekat jendela
Menunggu seseorang untuk bernyanyi
Banyak mimpi yang kusimpan
Sendiri di kegelapan, dan kini kamu telah datang


Lagu 'You Light up my life' yang di aransemen ulang oleh Westlifetersebut  mampu membuat salah satu teman saya meleleh setiap kali mendengarnya, tapi bagaimana kalau lagu tersebut diterjemahkan dan coba dinyanyikan oleh band melayu, dengan aransemen mereka sendiri??. Maka mungkin orang akan merasa sedikit terganggu dengan lirik lagu yang cengeng. 


Teman saya yang lain mengatakan bahwa lagu bahasa inggris terlihat keren karena pronunciation kata-kata yang tidak datar, ketika mereka mengucapkan love, maka ada penekanan pada huruf L, dan itu juga akan ditemukan pada kata-kata lain. Jadi, pelafalan kata-kata mereka memang sudah menunjukkan ekspresi sendiri, dan akan terlihat lebih indah dalam sebuah lagu. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, cara pelafalan cinta dengan benci sepertinya tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. (saat membaca paragraf ini mungkin saat ini anda sedang mempraktekan kata tersebut)


Sekarang, kita tinggalkan perdebatan antara lirik lagu, kita kembali pada kekuatan bahasa. Bahasa bukanlah sesuatu yang diucapkan atau tertulis dengan tidak memiliki arti apapun. Bahasa juga sesuatu yang dinamis, dalam pelajaran Bahasa Indonesia kita pernah mengenal istilah Peyorasi dan Ameliorasi. Kebetulan Ibu saya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan mengajarkan saya cara mudah membedakan dua istilah tersebut. Pada peyorasi maka ingat kata peyok (dalam bahasa jawa berarti pesok, atau bentuknya tidak baik lagi), sehingga peyorasi berarti bahasa tersebut memiliki arti menyempit, misalnya kata Ibu, secara peyorasi Ibu adalah seseorang yang melahirkan kita. Namun secara ameliorasi atau bahasa yang mengalami perluasan makna, Ibu bisa berarti panggilan hormat pada perempuan paruh baya, Ibu juga akhir-akhir ini jadi bahasa gaul anak-anak muda untuk menyebut temannya (gimana kabarnya bu, aduh bu tau nggak sih…, dsb).


Bahasa tertulis tidak bisa kita abaikan, dan jangan pernah berpikir bahwa bahasa tertulis tidak mampu menghadirkan ekspresi tertentu pada manusia. Istilahnya bahasa tertulis bukan sebuah benda mati. Misalnya ketika kita membaca buku, tidak mungkin wajah kita akan berekspresi sama dari awal halaman sampai titik terakhir buku. Terlebih buku yang kita baca adalah novel, kita pasti akan tersenyum, mengerutkan alis ketika inti cerita mulai tegang, atau bahkan kita bisa menangis. Bukankah ini menunjukkan bagaimana seorang pengarang novel mampu merangkai kata-kata menjadi sesuatu yang indah, sedih, merangsang, bahkan menakutkan bagi pembacanya. 

Bahkan artikel yang sedang anda baca ini mungkin akan membuat anda kembali berpikir apa sebenarnya bahasa itu??.


@home, 2nd October 2010, 10.30 PM

piece of cake

"piece of cake", this is the name of this blog.
When we say that a name is a worship, i give this name for this blog to make a writing just like a piece of cake. That can be a spirit to write ever single thing, every single perspective, and every single word that has every meaning!!

source: countryliving.com
and i wish this blog can be as 'delicious' as a piece of cake. 
happy reading
and happy eating a piece of cake :D

Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.