Tengah
malam, tanpa rasa kantuk membuat saya terkadang berpikir lebih ngelantur
kemana-mana. Bahkan seperti saat meulis ini, saya seakan tak mau ide itu lenyap
karena malas, saya langsung menyalakan laptop, berusaha merangkai kata untuk
menjadikannya kalimat dan terkumpul menjadi paragraph yang saling bermakna.
Lihat saja, bahkan pemilihan kata yang saya gunakan tengah di tengah malam bisa
lebih dramatis sadis.
Keinginan
ini bukan sebuah keinginan baru, sudah sejak lama saya seolah selalu berperan
menjadi, penikmat namun juga penghujat sebuah objek visual, istilah kerennya
saya ini kurator wannabe,
atau saya lebih suka dengan sebutan monolog saja, kurator terlalu muluk-muluk .
Objek visual yang saya pilih adalah sebuah hasil karya manusia yang menangkap
momen di satu waktu melalui piranti yang disebut kamera, sebuah foto. Kalau
dirunut sepetinya saya sudah sejak awal mengagumi objek visual ini. Menikmati
gambar-gambar di katalog saat kecil menjadi kegiatan yang menyenangkan.
Setelah
beranjak dari masa anak-anak, saya mulai memberikan komentar dari gambar-gambar
katalog itu. Kenapa katalog produk otomotif selalu menampilkan sosok perempuan
‘ekspresif’ dengan berbagai pose, sampai mempertanyakan bagaimana seseorang
bisa menangkap sebuah moment ketika air menetes dan menghasilkan gambar yang
menurut saya sangat indah. Permukaan air yang membentuk pola tertentu, diikuti
tetesan air yang masih setengah perjalanan, dan di ujung daun ada air yang siap
untuk mengikuti hukum gravitasi. Sebuah gambar yang mampu menangkap beberapa
cerita sekaligus, fantastic! itu komentar saya saat itu.
Saya masih
ingat ketika pergi ke sebuah pameran fotografi, sebuah foto bisa saya amati
lebih lama dari foto yang lain, dari kesan pertama yang kagum, heran akan
bagaimana fotografernya mampu menangkap momen, atau terpikir untuk merekam
sebuah hal yang mungkin bagi sebagian orang tidak terpikir sebelumnya. Momen
yang terjadi begitu singkat, dengan insting kuat mampu mencipta foto yang
seolah bisa bercerita dengan sendirinya.
Menikmati
gambar, berkembang dengan sedikit menghujat, atau mengkritik istilas
santunnyamenjadi lebih intensif saya lakukan.Menurut saya, si pembuat
objek -yang akhirnya saya kenal dengan sebutan photographer- ingin memberikan
persepsi tertentu bagi yang melihatnya. Bahkan,kritikan yang saya utarakan
lebih beralasan karena semakin matangnya pola berpikir dan informasi yang
diperoleh. Namun, ketertarikan saya itu tidak diimbangi dengan kepintaran saya
menguasai alat ajaib, sebuah kamera. Entah karena saya hanya ingin menjadi
pihak konsumen atau kurangnya sarana prasarana, bukan tidak adanya kamera tapi
tidak ada yang secara langsung mengajari saya. Selain itu, saya seolah belum
mengenal istilah belajar secara otodidak saat itu, dan sekarang merasa sudah
terlalu terlambat dan susahnya membagi waktu untuk mulai belajar dari nol dalam
urusan teknik memproses objek visual.
Jadi, saya
putuskan untuk tetap menjadi penikmat dan penghujat. Urusan teknik dan
prosesnya saya serahkan pada sang photographer saja. Dengan begitu, ada asas
keadilan sosial, sama rata, dan take and give yang terjadi. Atau mungkin saya
yang sudah tidak mau repot belajar apa itu kecepatan diafragma, ISO, white
balance, dan akhirnya saya selalu berpihak ke mode autofocus, penyelamat di
segala suasana.
Lima
paragraph diatas adalah sebuah kronologis, sebuah alasan saya ingin membuat
sebuah blog baru, tanpa membunuh blog yang satu ini. Blog baru saya, memang
khusus saya dedikasikan untuk kelebihan energi saya dalam menikmati sekaligus
menghujat tadi. Sebuah blog yang foto-fotonya hanya dari satu photographer yang
menurut sebagian orang mungkin masih amatir, atau ingusan (meskipun dia sudah
tidak ingusan kecuali saat pilek). Dia adalah photographer yang hebat, karena
saya merasa punya andil dalam prosesnya meski tidak dari awal namun berniat
akan menemaninya sampai akhir, meski saya tahu passion itu tak akan pernah
berakhir.
Sebuah blog yang merupakan wujud dukungan saya, dan inilah blog
itu, www.monologvisual.blogspot.com
Menteng,
141012, 02.10 AM
0 komentar:
Post a Comment