![]() |
source: http://www.facebook.com/pages/Ocra-Photography/203383449679611 |
“kelompok monoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas”
Setiap orang sering punya pendapat, namun sedikit yang mengungkapkannya.
Setiap orang sering tidak sependapat, namun memilih untuk diam.
Setiap orang sering masuk dalam lingkaran kesunyian, spiral of silence.
Karena, setiap orang merasa berada dalam wilayah minoritas.
Ironis memang sebuah keadaan kaum minoritas yang meski jumlah mereka mayor, kalah dengan mayoritas yang lebih memiliki andil dibalik keminoran mereka. Hal inilah yang dalam ilmu komunikasi disebut dengan keadaan “spiral of silence”, lingkaran kesunyian. Teori ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neuman, yang memberikan gambaran mengenai hubungan antara pendapat mayoritas dengan minoritas dalam suatu kelompok masyarakat.
Perbedaan pendapat masyarakat minoritas dan mayoritas adalah manifest dan laten. Opini yang bersifat laten dari masyarakat minoritas ini berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes (nyata di permukaan), dan itulah inti dari teori ini. Sekarang mari kita improvisasi dengan realisasi yang lebih sederhana, karena seperti maksud dari blog saya, piece of cake, ingin membuat segala hal itu mudah dimengerti.
Misalnya saja dari gambar yang saya jadikan analogi teori ini, (lihat gambar diatas J). Sepintas kita akan melihat sebuah kaum yang bisa kita sebut “wong cilik” ini sedang pasrah, menerima nasib bahwa dia memang tempatnya di bawah, tak dapat tempat duduk. Bisa juga hanya kesan dramatis yang disengaja diambil dari sudut pengambilan gambar oleh si photographer, teman saya, sebut saja atam, karena itu memang namanya. Kita secara sadar atau tidak dibawa masuk ke dalam maksud dari efek pengambilan gambar. Tapi kita tidak pernah menilai dari sudut pandang “lelaki bersandal pink ini”.
Pernahkah kita berpikir bahwa lelaki bersandal pink ini lebih nyaman dengan duduk di bawah. Dia ingin melihat realita dengan sudut pandang yang berbeda. Kita saja yang kadang terlalu memberikan generalisasi pada “wong cilik”, mungkin perasaan iba atau kasihan. Padahal mereka sendiri kadang tidak suka dengan perasaan itu. Mungkin perlu diingat, jangan mengasihani seseorang bila kau tak mampu memberi solusi. Lalu intinya dengan spiral of silence?, kalau menurut perspektif saya, pendapat lelaki tentang zona nyaman ia naik kereta tidak terungkap, dan kita terlalu berpikir general, ikut mayoritas.
Contoh lain, akan saya ilustrasikan dengan lebih mudah, sebuah pengalaman pribadi selama perjalanan tiap hari, pulang pergi ke kantor dengan metromini. Berita tentang kendaraan keluar masuk jalur busway menjadi isu nasional, bahkan pernah salah satu menteri harus meminta maaf di media massa karena tertangkap basah masuk jalur busway. Namun ternyata hal itu tidak berhenti, saya masih sering keluar masuk jalur busway, bersama metromini dan semua penumpangnya. Setiap kali berada di dalam jalur saya hanya bisa diam, mau turun toh tidak akan merubah keadaan, justru akan dilihat merepotkan oleh orang lain. Saya menjadi minoritas di dalam metromini, pendapat saya menjadi laten.
Satu lagi, jangan pernah mengira bahwa setiap rombongan mobil berplat merah di kawal vooridjer itu selalu bersifat penting, darurat, dan patut didahulukan. Saya pernah berada di dalam bus suatu kementerian di Indonesia. Mereka menggunakan fasilitas vooridjer hanya untuk menghindari macet, padahal mereka di dalam bus hanya tidur, karaoke, dan bercengkerama tanpa alur yang jelas. Namun saya menggunakan fasilitas itu dan tidak menikmatinya.
Ah, terkadang kita perlu mendengarkan pendapat lelaki bersandal pink ini.
Tebet, 240112, 01:02 PM
mbaknya anak komunikasi juga kah??itu kan materi terkom semester 3 :3
ReplyDeleteiya, dlu emang kuliah komunikasi, kamu juga? :)
ReplyDeleteiya mbak,,udah semester tua ini :3 btw caldera teh apa'an mbk? (ak follow twittermu) kayanya enak kerja nya :p
ReplyDelete