Judul tulisan kali ini terlalu kaku ya? Iya, maklum aja
susah cari kata yang pas, terlebih ya emang yang mau diomongin tentang ini.
Bukan, bukan tentang teori dialektika Hegel, yang ini lebih rumit :D. Mungkin
karena pengaruh tesis juga ya, lagi bahas masalah dialektika juga. Ups, tesis?
Apa barusan saya ngomong jorok? Hehehhe
Terlalu disibukkan dengan fokus pada tesis, pada
teori-teori akan dialog antara laki-laki dan perempuan membuat saya terkadang
merasa menemukan pencerahan karena teori yang dibaca sama dengan faktanya.
Namun tak jarang teorinya juga meresahkan, terlebih ketika tak berpihak kepada
kita. Ekspresi ketika membaca teori yang kiranya sesuai denga realita kehidupan
kita adalaha....”aaah i knew it, that’s it, oooh jadi begini, hmmmm”. Tapi saya
menikmatinya, dan itu juga salah satu tips bikin penelitian, cari tema yang kiranya
membuat kita selalu tertarik untuk mendalaminya. *tips dari yang tesisnya belum selesai-selesai :D
Saya memang nggak mau bohong, naluri manusia saya masih
egois mau menang sendiri. Ini realistis, pakai logika. Ketika perempuan yang
sudah bicara masalah logika, jangan dipercaya 100% tapi jangan sekali-kali
meremehkan bahkan mengabaikan perasaan perempuan.
Saya pernah menjadi seseorang yang ingin disebut feminist, ikut menyuarakan suara hati
perempuan, membela, dan menuntut kesetaraan. Tapi itu dulu, ketika saya justru
tak tahu banyak tentang feminisme, ketika saya hanya melihat sesuatu dari sisi
yang tak pas. Lalu sekarang apakah saya menyerah? Tidak, saya justru lebih
berpikir sederhana, laki-laki dan perempuan memang berbeda, jangan dicari
persamaannya.
Akhir-akhir ini saya memang semakin sering menciptakan
dialog dalam pikiran saya akan laki-laki dan perempuan. Karena mereka adalah
pusat kehidupan di semesta ini.
Beberapa waktu lalu saya melihat drama korea yang menurut
saya penuh konflik dan drama, yaa namanya juga drama kan. Cerita tentang
perselingkuhan yang tak disengaja namun berakhir fatal. Masih ada kaitannya
dengan tulisan saya beberapa waktu lalu. Kawan perempuan saya yang beberapa
kali menyalahkan dirinya sendiri saat lelakinya berselingkuh. Mungkin typical
perempuan seperti itu, pun di drama yang saya lihat ini.
Berbeda dengan kisah kawan saya, di drama ini si
perempuan yang ada pada posisi berselingkuh, perselingkuhan itu terjadi karena
tak sengaja. Iya, jadi sang perempuan ini telah bersuami dan terlibat hubungan
romantis dengan orang asing yang merupakan rekan kerjanya. Hubungan itu
terungkap justru ketika perempuan menyudahi hubungannya dengan selingkuhannya.
Sang suami marah besar dan mengambil keputusan untuk bercerai, meskipun sang
perempuan sudah mengiba meminta maaf.
Satu malam mereka akhirnya bertemu bertiga dan si perempuan berbicara terus terang kepada
kedua lelaki yang ada di hatinya. Iya, sang perempuan mengakui kalau dia suka
kepada keduanya, tapi meskipun begitu ia tetap memilih suaminya. Tapi suaminya
tak terima karena bagaimana mungkin ia bertahan dengan perempuan yang juga
membagi hatinya. Dan mempertanyakan kepada perempuan apakah itu
mungkin?bagaimana perasaannya bila ia ada di posisi suaminya.
Disinilah terlihat sudut pandang perempuan, dia berkata
aku juga tidak akan terima namun aku mungkin akan mengerti, akan mencoba
mengerti. Jika sang suami benar-benar mencintai perempuan lain, pasti ada
alasannya. Dia mungkin juga akan kecewa dan terluka lebih dari suaminya namun,
apa yang dilakukan suaminya pasti bukan hal yang juga dia inginkan tapi pasti
ada alasannya. Dan si istri ini akan berusaha untuk mengerti.
Lalu apa kabar laki-laki pihak ketiga, dia pergi karena
dia merasa bersalah dan dia tidak mau kalau hanya mendapat hati si perempuan
setengahnya saja. Dia ingin seluruh hati si perempuan untuk suaminya saja, lalu
dia pergi.
Berbeda bukan?
Saya juga pernah mendengarkan curhat teman laki-laki saya
yang dihianati pacarnya. Dia bercerita sampai akan menangis, namun tak sampai
satu bulan dia sudah mengabarkan pacar barunya di media sosial. sementara teman
perempuan saya tak sedikit yang terus merasa terjebak dengan masa lalu.
Di salah satu mata kuliah yang pernah saya ikuti, dosen
saya mengutip dari seorang tokoh yang saya lupa siapa, kutipan itu berkata “emosi
perempuan memang tak pernah usai”. Hal itu benar adanya, mari kita coba
uraikan; perempuan saat masih anak-anak terlihat tumbuh lebih cepat dari
laki-laki, coba mulai perhatikan keponakan kita. Lalu semakin bertambah usia,
perempuan mengalami perubahan hormon terlebih ketika menstruasi, emosinya penuh
rahasia tak terungkap. Lalu semakin dewasa ia menikah, lalu melahirkan. Pasca melahirkan
tak sedikit perempuan yang mengalami yang namanya baby blues, sebuah sindrom yang diderita seorang perempuan karena
ekspektasi pasca melahirkan berbeda dengan kenyataan yang ia hadapi. Seorang perempuan
sudah membayangkan kebahagiaan menyambut buah hati, But instead of
celebrating, you feel like crying. You were prepared for joy and excitement,
not exhaustion, anxiety, and weepiness. Contoh sederhananya ketika perempuan ingin ke kamar mandi
tapi si bayi terus menangis tak mau ditinggal, sementara ia tetap harus
menjalani kewajiban sebagai istri, memperhatikan suami, dan hal kecil lain yang
tiba-tiba berubah saat ia menyandang status menjadi ibu. Mood swing atau emosi yang naik turun menjadi penyebab baby blues, dan tak ada yang tahu apakah
itu akan terjadi atau tidak, tak mampu diprediksi sebelumnya.
Lalu, apakah salah ketika perempuan itu masih cenderung
menggunakan perasaan?. Lalu apakah sudah benar jika terus menuntut perempuan untuk
lebih memakai logika?.
Obrolan saya
waktu lalu dengan seorang lelaki menghasilkan pernyataan “Kamu semakin menunjukkan logika laki-laki
sedangkan aku hanya perempuan yang tetap tak bisa mendustai perasaan. Meskipun
aku selalu berusaha memakai alasan logika. Tapi bukankan justru itu bisa jadi
pelengkap? Ketika kau lupa akan rasa aku akan mengingatkanmu. Pun sebaliknua
kau akan terus membuatku kembali pada logika. Jadi, masih mendustai kekuatan
sepakat untuk tidak sepakat?”.
Dialektika sendiri intinya adanya tarik menarik, tarik
ulur, berbeda prinsip atau pendapat, tapi penyelesaian tidak semudah jawaban
iya atau tidak. Melakukan dialog dan mencari jalan keluar yang win win solution. Satu hal lagi,
dialektika itu tidak akan pernah selesai, selalu akan muncul dialektika-dialektikan
lainnya..
Sehingga, mari kita berdialog saja....
Salemba, 120215, 08:27AM