"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Thursday, February 12, 2015

Dialog Dialektika

Source: Gita Atam

Judul tulisan kali ini terlalu kaku ya? Iya, maklum aja susah cari kata yang pas, terlebih ya emang yang mau diomongin tentang ini. Bukan, bukan tentang teori dialektika Hegel, yang ini lebih rumit :D. Mungkin karena pengaruh tesis juga ya, lagi bahas masalah dialektika juga. Ups, tesis? Apa barusan saya ngomong jorok? Hehehhe

Terlalu disibukkan dengan fokus pada tesis, pada teori-teori akan dialog antara laki-laki dan perempuan membuat saya terkadang merasa menemukan pencerahan karena teori yang dibaca sama dengan faktanya. Namun tak jarang teorinya juga meresahkan, terlebih ketika tak berpihak kepada kita. Ekspresi ketika membaca teori yang kiranya sesuai denga realita kehidupan kita adalaha....”aaah i knew it, that’s it, oooh jadi begini, hmmmm”. Tapi saya menikmatinya, dan itu juga salah satu tips bikin penelitian, cari tema yang kiranya membuat kita selalu tertarik untuk mendalaminya. *tips dari yang tesisnya belum selesai-selesai :D

Saya memang nggak mau bohong, naluri manusia saya masih egois mau menang sendiri. Ini realistis, pakai logika. Ketika perempuan yang sudah bicara masalah logika, jangan dipercaya 100% tapi jangan sekali-kali meremehkan bahkan mengabaikan perasaan perempuan.

Saya pernah menjadi seseorang yang ingin disebut feminist, ikut menyuarakan suara hati perempuan, membela, dan menuntut kesetaraan. Tapi itu dulu, ketika saya justru tak tahu banyak tentang feminisme, ketika saya hanya melihat sesuatu dari sisi yang tak pas. Lalu sekarang apakah saya menyerah? Tidak, saya justru lebih berpikir sederhana, laki-laki dan perempuan memang berbeda, jangan dicari persamaannya.

Akhir-akhir ini saya memang semakin sering menciptakan dialog dalam pikiran saya akan laki-laki dan perempuan. Karena mereka adalah pusat kehidupan di semesta ini.

Beberapa waktu lalu saya melihat drama korea yang menurut saya penuh konflik dan drama, yaa namanya juga drama kan. Cerita tentang perselingkuhan yang tak disengaja namun berakhir fatal. Masih ada kaitannya dengan tulisan saya beberapa waktu lalu. Kawan perempuan saya yang beberapa kali menyalahkan dirinya sendiri saat lelakinya berselingkuh. Mungkin typical perempuan seperti itu, pun di drama yang saya lihat ini.

Berbeda dengan kisah kawan saya, di drama ini si perempuan yang ada pada posisi berselingkuh, perselingkuhan itu terjadi karena tak sengaja. Iya, jadi sang perempuan ini telah bersuami dan terlibat hubungan romantis dengan orang asing yang merupakan rekan kerjanya. Hubungan itu terungkap justru ketika perempuan menyudahi hubungannya dengan selingkuhannya. Sang suami marah besar dan mengambil keputusan untuk bercerai, meskipun sang perempuan sudah mengiba meminta maaf.
Satu malam mereka akhirnya bertemu bertiga dan  si perempuan berbicara terus terang kepada kedua lelaki yang ada di hatinya. Iya, sang perempuan mengakui kalau dia suka kepada keduanya, tapi meskipun begitu ia tetap memilih suaminya. Tapi suaminya tak terima karena bagaimana mungkin ia bertahan dengan perempuan yang juga membagi hatinya. Dan mempertanyakan kepada perempuan apakah itu mungkin?bagaimana perasaannya bila ia ada di posisi suaminya.
Disinilah terlihat sudut pandang perempuan, dia berkata aku juga tidak akan terima namun aku mungkin akan mengerti, akan mencoba mengerti. Jika sang suami benar-benar mencintai perempuan lain, pasti ada alasannya. Dia mungkin juga akan kecewa dan terluka lebih dari suaminya namun, apa yang dilakukan suaminya pasti bukan hal yang juga dia inginkan tapi pasti ada alasannya. Dan si istri ini akan berusaha untuk mengerti.
Lalu apa kabar laki-laki pihak ketiga, dia pergi karena dia merasa bersalah dan dia tidak mau kalau hanya mendapat hati si perempuan setengahnya saja. Dia ingin seluruh hati si perempuan untuk suaminya saja, lalu dia pergi.

Berbeda bukan?
Saya juga pernah mendengarkan curhat teman laki-laki saya yang dihianati pacarnya. Dia bercerita sampai akan menangis, namun tak sampai satu bulan dia sudah mengabarkan pacar barunya di media sosial. sementara teman perempuan saya tak sedikit yang terus merasa terjebak dengan masa lalu.

Di salah satu mata kuliah yang pernah saya ikuti, dosen saya mengutip dari seorang tokoh yang saya lupa siapa, kutipan itu berkata “emosi perempuan memang tak pernah usai”. Hal itu benar adanya, mari kita coba uraikan; perempuan saat masih anak-anak terlihat tumbuh lebih cepat dari laki-laki, coba mulai perhatikan keponakan kita. Lalu semakin bertambah usia, perempuan mengalami perubahan hormon terlebih ketika menstruasi, emosinya penuh rahasia tak terungkap. Lalu semakin dewasa ia menikah, lalu melahirkan. Pasca melahirkan tak sedikit perempuan yang mengalami yang namanya baby blues, sebuah sindrom yang diderita seorang perempuan karena ekspektasi pasca melahirkan berbeda dengan kenyataan yang ia hadapi. Seorang perempuan sudah membayangkan kebahagiaan menyambut buah hati, But instead of celebrating, you feel like crying. You were prepared for joy and excitement, not exhaustion, anxiety, and weepiness. Contoh sederhananya ketika perempuan ingin ke kamar mandi tapi si bayi terus menangis tak mau ditinggal, sementara ia tetap harus menjalani kewajiban sebagai istri, memperhatikan suami, dan hal kecil lain yang tiba-tiba berubah saat ia menyandang status menjadi ibu. Mood swing atau emosi yang naik turun menjadi penyebab baby blues, dan tak ada yang tahu apakah itu akan terjadi atau tidak, tak mampu diprediksi sebelumnya.

Lalu, apakah salah ketika perempuan itu masih cenderung menggunakan perasaan?. Lalu apakah sudah benar jika terus menuntut perempuan untuk lebih memakai logika?.

Obrolan saya waktu lalu dengan seorang lelaki menghasilkan pernyataan “Kamu semakin menunjukkan logika laki-laki sedangkan aku hanya perempuan yang tetap tak bisa mendustai perasaan. Meskipun aku selalu berusaha memakai alasan logika. Tapi bukankan justru itu bisa jadi pelengkap? Ketika kau lupa akan rasa aku akan mengingatkanmu. Pun sebaliknua kau akan terus membuatku kembali pada logika. Jadi, masih mendustai kekuatan sepakat untuk tidak sepakat?”.

Dialektika sendiri intinya adanya tarik menarik, tarik ulur, berbeda prinsip atau pendapat, tapi penyelesaian tidak semudah jawaban iya atau tidak. Melakukan dialog dan mencari jalan keluar yang win win solution. Satu hal lagi, dialektika itu tidak akan pernah selesai, selalu akan muncul dialektika-dialektikan lainnya..

Sehingga, mari kita berdialog saja....

Salemba, 120215, 08:27AM







0 komentar:

Post a Comment

Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.