"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Thursday, February 19, 2015

Cinta bukan perkara untung rugi, ia tak memerlukan logika.

Source: google images

Cinta ini, kadang-kadang tak ada logika....

Ada yang membaca kalimat di atas dengan tidak biasa, dengan menyanyi atau sekaligus bergaya seperti agnes monica? Tak apa, itu wajar. Terlalu sering didengar dan diingat akan membekas tersimpan di bawah sadar. Sebagai manusia kita tak bisa memegang kendali kapan ia harus dipanggil atau harus dikurung tak boleh keluar.

Kalau menurut saya cinta memang tak memiliki logika. Bukan terkadang lagi, namun saya memang tak mau memakai logika untuk urusan cinta.

Logika, apa yang terpikir dari kata ini; sistematis, matematis dan patriarki.

Saya mengatakan ia sistematis karena seolah logika ini merupakan cara berpikir yang sudah memiliki jalur sendiri. Setiap hulu akan ada hilir, setiap kehidupan ada kematian, begitupun dengan cinta. Bila ada cinta maka akan ada benci. Sistematis ini hanya melihat baik dan buruk, hitam dan putih, oposisi biner. Tak ada ruang bagi kata setengah-setengah ia hanya meminta totalitas.

Logika juga matematis, karena matematika juga meminta kepastian. Satu ditambah satu harus menghasilkan dua tidak ada peluang bagi jawaban lain.  Secara matematis pula logika akan mengajak kita memperhitungkan untung rugi. Lihatlah para pedagang di luar sana, setiap sen yang telah ia keluarkan harus sebisa mungkin kembali lebih banyak. Untuk itulah muncul konsep low cost high impact, keluarkan modal sedikit mungkin tapi hasilkan yang maksimal.

Sistematis maupun matematis adalah logika patriarki, itu yang saya simpulkan. Saya tidak sedang nyinyir karena saya perempuan. Namun entah siapa yang memulai dan dari kapan, lelaki akan selalu dikatakan makhluk dengan logika sedangkan perempuan makhluk penuh perasaan. Bahkan ketika perempuan mencoba menggunakan logika laki-laki belajar untung rugi dalam percintaan, ia akan langsung dibilang matre, mata duitan. Seloroh realistis yang dijadikan alasan tidak pernah mempan.

Cara berpikir logika merupakan cara berpikir akan untung rugi, apakah itu juga cara berpikir cinta?
Apakah kamu akan selalu menghitung untung rugi?
Bukan hanya cinta pada makhluk, cinta kepada pemberi perasaan cinta, cinta kepada Allah juga kau lakukan dengan logika?
Kau terus menghitung setiap ibadah dan pahala yang akan kau dapat lalu memperkirakan apakah kau sudah untung?

Cinta tak sepicik itu, ia perasaan paling fitrah tak menuntut pun tak memperhitungkan untung rugi.


Salemba, 190215, 03:56PM

Saturday, February 14, 2015

Glorifikasi “paha” dan “dada"


Source: google images

Terpujilah dosen saya yang mengenalkan istilah glorifikasi, sebuah istilah yang intinya berarti melebih-lebihkan sesuatu. Judulnya semula adalah glorifikasi restoran cepat saji, tapi saya mau sok misterius, tak mau mudah ditebak saja, jadi saya ganti dengan paha dan dada plus tak lupa tanda kutip untuk lebih menekankan makna yang tak tersirat ;). 

Paha dan dada yang saya pilih karena kedua bagian tubuh ini banyak sekali digunakan sebagai analogi. Pernah dengar guyonan yang menyatakan kalau kamu hanya mencari pacar dengan memperhatikan paha dan dada, datanglah ke keefci. Atau ada kutipan dari seorang tokoh sosial, Idi Subandy bahwa "paha dan dada kita dikuasai oleh industri media, sementara perut dikuasai negara". Industri media lewat iklan atau tayangan hiburan lain mana yang tidak pernah lupa menampilkan paha dan dada perempuan dengan alasan artistik. Lalu perut dikuasai negara melalui program KB, pengendalian pertumbuhan. Bahkan saat jaman orba di dalam salah satu dokumen keluarga untuk negara harus mencantumkan program KB apa yang diikuti, suntuk, spiral atau obat, itu ujar dosen saya di salah satu mata kuliah.

Tapi kali ini kita tidak membahas paha dan dada yang itu, kita bahas menu makanan cepat saji dan serangkaian akibatnya saja. Untuk paha dan dada yang lain mungkin lain kali, mungkin juka saya ingat, dan mungkin jika saya tidak malas :D.

Cerita ini tertulis saat saya kembali membuktikan kedahsyatan ayam penuh hormon dari restoran cepat saji yang ada di sekitar kita. Sebutlah mekdi atai keefci serta tempat-tempat lain yang menyatakan produk lokal namun dengan konsep yang sama, nasi dan ayam goreng tepung cepat saji. tentunya tidak hanya ayam yang berbahaya, tapi hampir semua menu makanan di restoran cepat saji ini menakutkan, penuh vetsin dan gula berlebih.

Di negara asal makanan dari restoran tersebut merupakan makanan sampah, makanan yang sudah bertahun-tahun dikampanyekan agar tidak dikonsumsi. Efeknya sudah terlalu meresahkan dan menghantui. Di salah satu produksi film dokumentasi yang baru saya lihat FED UP (2014) Michele Obama sampai mengkampanyekan apa yang disebut dengan makanlah “real food”. Di sekolah-sekolah melarang makanan instan, lemari es yang biasanya penuh minuman jus dalam botol sudah di non-fungsikan. Semua siswa diberi makanan yang minim gula, minim vitsin, dan menambah serat. Obesitas di amerika serikat memang sudah tak bisa di tolerir.

Berapa waktu lalu saya sempat membagi tautan informasi bagaimana burger mekdi ketika masuk ke dalam lambung itu dalam berjam-jam tak akan hancur,sehingga obesitas tak bisa dicegah. Tautan itu bisa dicek disini. Atau suatu waktu saya juga membagi tautan tentang kenapa pubertas remaja putri saat ini jauh, sangat jauh lebih cepat dari sebelumnya. Pada tautan tersebut salah satu penyebab utama adalah lagi lagi adalah ayam di restoran cepat saji tersebut. Banyaknya hormon yang masuk ke dalam ayam ikut masuk juga ke dalam tubuh konsumennya. Hormon tersebutlah yang membuat pubertas semakin cepat.

Ada yang lebih mengkhawatirkan juga, meskipun tak disebutkan di artikel tersebut, namun teman saya pernah berkata pada saya bahwa itulah sebabnya juga banyak sekali saat ini kita jumpai lelaki yang feminin. Terlalu banyak mengonsumsi makanan cepat saji itulah jawabannya. Apabila kita mau memikirkan sedikit dengan menggunakan logika hal itu ada benarnya, dan benar adanya. hormon yang disuntikkan kepada ayam tersebut berfungsi agar ayam montok dan berisi, kalau pada manusia perempuan yang montok dan berisi karena adanya hormon kewanitaan. Lalu hormon itu pula yang masuk ke tubuh remaja perempuan yang berakibat mereka mens lebih cepat. Lalu pada remaja lelaki, apa akibatnya bila ia mempunyai kelebihan hormon kewanitaan, kadar feminitasnya meningkat. Logika saya ini berdasar dari salah satu artikel lain yang saya baca disini

Lalu masih mau membanggakan diri ketika berkunjung ke restoran ini?.

Di awal tulisan saya berkata tentang membuktikan sesuatu. Iya saya kemarin sore sengaja ke mekdi karena bulan ini jadwal disminor atau menstruasi saya sudah telat satu minggu. Bagi perempuan bersuami mungkin mereka akan ke apotek membeli alat tes kehamilan dan lanjut ke dokter bila hasilnya positif. Lalu, bagi perempuan lajang yang belum dibuahi seperti saya tentu hanya akan menimbulkan kondisi badan yang meriang dan pegel linu bila jadwalnya terlambat dari biasanya. Keputusan di mekdi tersebut saya rasa tepat karena malam harinya perut saya sudah terasa tak enak dan paginya terbukti. Tak perlu 24 jam lamanya saya menunggu efek ayam penuh hormon tersebut, saya menulis ini pun sambil menahan nyeri di perut. Drama hari pertama mestruasi.

Untuk masalah makanan saya memang sangat pemilih, karena saya mencoba berbicara dengan tubuh saya. Saya merasa bersalah ketika seolah tubuh saya berteriak “apa yang kamu makan?racun apalagi yang kamu berikan padaku?!!!”. Saya sempat menjadi vegetarian selama dua tahun, sampai pada beberapa bulan lalu saya merasa kurang bisa memberi protein pengganti hewani yang cukup, sehingga saya memutuskan untuk makan sehat saja. Ayam saya coba paling tidak maksimal sebulan dua kali saja, daging cukup sebulan sekali, ikan masih boleh lah seminggu sekali. Tapi saya selalu usahakan untuk masak itu semua sendiri. Karena itu tadi, saya tidak mau lebih lanjut membunuh diri lebih cepat.

Sudah saatnya kita lebih sering berbincang dengan tubuh kita, jangan abaikan pesan yang ia sampaikan ketika ia merasa senang atau sedih dengan apa yang kita makan.

Let’s live longer!!! J

Salemba, 140215, 12:41PM

Thursday, February 12, 2015

Dear, Ego…

Entah kapan dan apa yang kita bahas, tapi saya masih ingat ada kalanya kita berdebat hebat untuk hal yang belum tentu terjadi. Perdebatan yang sebenarnya untuk saling mengenal karakter masing-masing. Perdebatan yang sengaja atau tidak justru membuat kita masih bertahan selama ini.

Malam itu mungkin sebuah malam akumulasi kesabaran saya, kesabaran saya memang belum habis, tapi saya merasa mengalah dan kalah. Mengalah untuk tidak mempertahankan ego, dan kalah untuk tidak menangisinya.

Semuanya bermula dari bercanda atau sebuah simulasi lebih tepatnya. Tentang skenario yang mungkin akan terjadi, saling berargumen yang awalnya santai berubah menjadi serius dan akhirnya absurd. Sayangnya kali ini sedikit berbeda dari biasanya yang berakhir dengan guyonan, justru “nyesek”. Kita masing-masing masih bertahan dengan ego kita tanpa mau berkompromi. Hingga akhirnya percakapan itu kita sudahi masih dengan ego yang tak mau kalah.

Saya yang selalu ingin memberikan alasan berdasarkan fakta mulai meracau dengan teori-teori yang pernah saya baca. Hal ini juga yang membuat saya membaca lagi buku Man are from Mars, Women are from Venus. Saya tidak membaca ulang, hanya pada highlight tentang Perempuan itu membutuhkan perhatian dan Laki-laki membutuhkan penerimaan. Bukan bermaksud sok pintar atau apa, tapi setidaknya saya hanya ingin berpendapat dengan menggunakan alasan pernyataan orang. Saya ingin lebih obyektif.

Dalam buku tersebut dikatakan; “Bila Pria Mendengarkan tanpa menghakimi, melainkan dengan empati dan kedekatan terhadap wanita yang sedang mengungkapkan perasaan-perasaannya, wanita tersebut merasa didengarkan dan dipahami. Bila wanita dengan penuh cinta menerima pria tanpa berusaha mengubahnya, pria itu merasa diterima” **.

Menurut interpretasi saya, dari apa yang diungkapkan paragraf diatas adalah, perempuan itu terkadang hanya ingin didengar saat mereka bicara panjang lebar bahkan kadang tanpa memberi kesempatan laki-laki untuk menyela. Saya sebagai perempuan tidak ingin adanya debat kusir ketika cerita saya belum habis, cobalah mendengarkan, mengumpulkan informasi yang ingin disampaikan, dan memahaminya. Barulah setelah perempuan menginginkan tanggapan, bicaralah dari fakta dan informasi yang telah kalian dengar. Perlu kalian ketahui, ketika perempuan bicara panjang lebar dengan ceplas ceplos itu, mereka sudah percaya padamu.

Layaknya Hukum 1 Newton; semua aksi itu akan menimbulkan reaksi. Ketika kamu, seorang laki-laki mendengarkan dengan pengertian karena tahu perempuan percaya, maka kamu itu telah diterima, diterima apa adanya tanpa syarat, unconditionally.

Penerimaan saya itu tulus, bahkan saya tidak ingin merubahmu, karena saya tahu kalau kamu bisa berubah sendiri ketika mulai mengerti saya. Pun begitu juga saya. Marilah kita terus berkompromi dengan ego masing-masing.


(curhatan di suatu malam dari sekian perdebatan yang kita lalui, yang saya lupa tanggalnya :D)

Salemba, 120215, 08:30PM




** Gray, John, 1992, Men are from Mars, Women are From Venus; 153

Dialog Dialektika

Source: Gita Atam

Judul tulisan kali ini terlalu kaku ya? Iya, maklum aja susah cari kata yang pas, terlebih ya emang yang mau diomongin tentang ini. Bukan, bukan tentang teori dialektika Hegel, yang ini lebih rumit :D. Mungkin karena pengaruh tesis juga ya, lagi bahas masalah dialektika juga. Ups, tesis? Apa barusan saya ngomong jorok? Hehehhe

Terlalu disibukkan dengan fokus pada tesis, pada teori-teori akan dialog antara laki-laki dan perempuan membuat saya terkadang merasa menemukan pencerahan karena teori yang dibaca sama dengan faktanya. Namun tak jarang teorinya juga meresahkan, terlebih ketika tak berpihak kepada kita. Ekspresi ketika membaca teori yang kiranya sesuai denga realita kehidupan kita adalaha....”aaah i knew it, that’s it, oooh jadi begini, hmmmm”. Tapi saya menikmatinya, dan itu juga salah satu tips bikin penelitian, cari tema yang kiranya membuat kita selalu tertarik untuk mendalaminya. *tips dari yang tesisnya belum selesai-selesai :D

Saya memang nggak mau bohong, naluri manusia saya masih egois mau menang sendiri. Ini realistis, pakai logika. Ketika perempuan yang sudah bicara masalah logika, jangan dipercaya 100% tapi jangan sekali-kali meremehkan bahkan mengabaikan perasaan perempuan.

Saya pernah menjadi seseorang yang ingin disebut feminist, ikut menyuarakan suara hati perempuan, membela, dan menuntut kesetaraan. Tapi itu dulu, ketika saya justru tak tahu banyak tentang feminisme, ketika saya hanya melihat sesuatu dari sisi yang tak pas. Lalu sekarang apakah saya menyerah? Tidak, saya justru lebih berpikir sederhana, laki-laki dan perempuan memang berbeda, jangan dicari persamaannya.

Akhir-akhir ini saya memang semakin sering menciptakan dialog dalam pikiran saya akan laki-laki dan perempuan. Karena mereka adalah pusat kehidupan di semesta ini.

Beberapa waktu lalu saya melihat drama korea yang menurut saya penuh konflik dan drama, yaa namanya juga drama kan. Cerita tentang perselingkuhan yang tak disengaja namun berakhir fatal. Masih ada kaitannya dengan tulisan saya beberapa waktu lalu. Kawan perempuan saya yang beberapa kali menyalahkan dirinya sendiri saat lelakinya berselingkuh. Mungkin typical perempuan seperti itu, pun di drama yang saya lihat ini.

Berbeda dengan kisah kawan saya, di drama ini si perempuan yang ada pada posisi berselingkuh, perselingkuhan itu terjadi karena tak sengaja. Iya, jadi sang perempuan ini telah bersuami dan terlibat hubungan romantis dengan orang asing yang merupakan rekan kerjanya. Hubungan itu terungkap justru ketika perempuan menyudahi hubungannya dengan selingkuhannya. Sang suami marah besar dan mengambil keputusan untuk bercerai, meskipun sang perempuan sudah mengiba meminta maaf.
Satu malam mereka akhirnya bertemu bertiga dan  si perempuan berbicara terus terang kepada kedua lelaki yang ada di hatinya. Iya, sang perempuan mengakui kalau dia suka kepada keduanya, tapi meskipun begitu ia tetap memilih suaminya. Tapi suaminya tak terima karena bagaimana mungkin ia bertahan dengan perempuan yang juga membagi hatinya. Dan mempertanyakan kepada perempuan apakah itu mungkin?bagaimana perasaannya bila ia ada di posisi suaminya.
Disinilah terlihat sudut pandang perempuan, dia berkata aku juga tidak akan terima namun aku mungkin akan mengerti, akan mencoba mengerti. Jika sang suami benar-benar mencintai perempuan lain, pasti ada alasannya. Dia mungkin juga akan kecewa dan terluka lebih dari suaminya namun, apa yang dilakukan suaminya pasti bukan hal yang juga dia inginkan tapi pasti ada alasannya. Dan si istri ini akan berusaha untuk mengerti.
Lalu apa kabar laki-laki pihak ketiga, dia pergi karena dia merasa bersalah dan dia tidak mau kalau hanya mendapat hati si perempuan setengahnya saja. Dia ingin seluruh hati si perempuan untuk suaminya saja, lalu dia pergi.

Berbeda bukan?
Saya juga pernah mendengarkan curhat teman laki-laki saya yang dihianati pacarnya. Dia bercerita sampai akan menangis, namun tak sampai satu bulan dia sudah mengabarkan pacar barunya di media sosial. sementara teman perempuan saya tak sedikit yang terus merasa terjebak dengan masa lalu.

Di salah satu mata kuliah yang pernah saya ikuti, dosen saya mengutip dari seorang tokoh yang saya lupa siapa, kutipan itu berkata “emosi perempuan memang tak pernah usai”. Hal itu benar adanya, mari kita coba uraikan; perempuan saat masih anak-anak terlihat tumbuh lebih cepat dari laki-laki, coba mulai perhatikan keponakan kita. Lalu semakin bertambah usia, perempuan mengalami perubahan hormon terlebih ketika menstruasi, emosinya penuh rahasia tak terungkap. Lalu semakin dewasa ia menikah, lalu melahirkan. Pasca melahirkan tak sedikit perempuan yang mengalami yang namanya baby blues, sebuah sindrom yang diderita seorang perempuan karena ekspektasi pasca melahirkan berbeda dengan kenyataan yang ia hadapi. Seorang perempuan sudah membayangkan kebahagiaan menyambut buah hati, But instead of celebrating, you feel like crying. You were prepared for joy and excitement, not exhaustion, anxiety, and weepiness. Contoh sederhananya ketika perempuan ingin ke kamar mandi tapi si bayi terus menangis tak mau ditinggal, sementara ia tetap harus menjalani kewajiban sebagai istri, memperhatikan suami, dan hal kecil lain yang tiba-tiba berubah saat ia menyandang status menjadi ibu. Mood swing atau emosi yang naik turun menjadi penyebab baby blues, dan tak ada yang tahu apakah itu akan terjadi atau tidak, tak mampu diprediksi sebelumnya.

Lalu, apakah salah ketika perempuan itu masih cenderung menggunakan perasaan?. Lalu apakah sudah benar jika terus menuntut perempuan untuk lebih memakai logika?.

Obrolan saya waktu lalu dengan seorang lelaki menghasilkan pernyataan “Kamu semakin menunjukkan logika laki-laki sedangkan aku hanya perempuan yang tetap tak bisa mendustai perasaan. Meskipun aku selalu berusaha memakai alasan logika. Tapi bukankan justru itu bisa jadi pelengkap? Ketika kau lupa akan rasa aku akan mengingatkanmu. Pun sebaliknua kau akan terus membuatku kembali pada logika. Jadi, masih mendustai kekuatan sepakat untuk tidak sepakat?”.

Dialektika sendiri intinya adanya tarik menarik, tarik ulur, berbeda prinsip atau pendapat, tapi penyelesaian tidak semudah jawaban iya atau tidak. Melakukan dialog dan mencari jalan keluar yang win win solution. Satu hal lagi, dialektika itu tidak akan pernah selesai, selalu akan muncul dialektika-dialektikan lainnya..

Sehingga, mari kita berdialog saja....

Salemba, 120215, 08:27AM







Wednesday, February 11, 2015

Entahlah

Sedang sangat ingin menulis di blog ini, tapi entahlah...
Banyak ide akan tulisan, tapi entahlah...
Ketika mencoba merangkai ide-ide itu saling bersinggungan minta diprioritaskan, entahlah...
Sekian banyak ide bersisipan di antara yang penting dan tidak penting, entahlah...
Namun, hanya membuahkan pemikiran yang tak berujung, entahlah...
Yang akhirnya tak kunjung menjadi tulisan, entahlah...

Salemba, 110215, 08:35PM


Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.