![]() |
Source: google images |
Bermula dari
siang ini, ketika di perpustakaan kampus yang luas dengan ribuan buku-buku,
samar tapi jelas terdengan suara laki-laki dan perempuan (banyak, berkelompok,
mungkin gank) sedang berbincang di ruangan sebelah. Suara mereka tetap
terdengan jelas meskipun apa yang mereka bicarakan tak bisa saya tangkap.
Diantara sekelompok suara itu, ada satu suara mendominasi, suara seorang
laki-laki yang intonasinya sangat perempuan namun masih dengan vibre bassnya. Fenomena
laki-laki yang merasa didzolimi oleh tubuhnya sendiri ini memang merisaukan,
mungkin benar zaman nabi Luth berulang (naudzubilahimindalik).
Meskipun saya
sudah tidak terbilang muda dan latar belakang pendidikan yang bisa dibilang
lumayan tinggi, namun untuk wacana laki-laki “belok” ini saya masih menentang.
Yah, sebagai mahasiswa pascasarjana komunikasi yang ikut mata kuiah minoritas,
cultural studies, dan posmodern, fenomena tersebut dibilang lumrah. Mungkin itu
juga bisa jadi contoh dekonstruksi derrida yang menentang definisi absolut,
dekonstruksi akan jenis kelamin yang tak lagi lelaki perempuan. Atau mungkin
konsep Freud?Foucault? atau mungkin fenomenologi Levinas tentang kebertubuhan
yang jelas membedakan antara tubuh dan badan.
Secara logika
semua itu memang masuk akal, mereka punya alasan yang kuat akan segala
pemikiran yang di ungkapkan dan dipublikasikan. Bahan Jerman kalau tidak salah,
negara pertama yang menetapkan peraturan jenis kelamin “belum ditentukan” pada
bayi yang lahir. Tapi jujur saya masih belum bisa menerima akan rasionalitas
itu. Sebutlah Freud mengatakan bahwa secara jasmaniah setiap orang memang punya
apa yang disebut sebagai panggilan jiwa, kalau seseorang menjadi apa yang dia
sekarang ini, menururt Freud kita harus menarik ke sejarah kehidupannya, kita
harus melihat faktor psikoanalisis. Sebuah alasan yang menurut saya sebuah
excuse, alasan logika yang seolah menormalisasi segala hal, semua dianggap
lumrah.
Saya masih
percaya untuk jenis kelamin itu ya oposisi biner, hanya ada dua laki-laki dan
perempuan. Meskipun tidak bisa dibandingkan seperti membandingkan hitam dan
putih, karena laki-laki dan perempuan itu berbeda, sangat berbeda. Tapi tetap
tidak lumrah kalau laki-laki itu suka sama laki-laki, laki-laki itu ya nggak
jalan lebih melambai daripada mereka yang ikut ajang miss-miss apalah itu.
Okelah, kalian boleh bilang itu kan hanya konstruksi sosial, setiap orang
berkhak untuk mengekspresikan diri, dan siapa bilang laki-laki gak boleh pake
pink? Sudahlah....
Baiklah, alasan
itu boleh, tapi laki-laki yang sudah merasa dikhianati tubuhnya itu beda
masalahnya dengan laki-laki pake pink! Bukan sebuah pilihan juga. Kalau memang
kita diberi pilihan mungkin memang dari awal kita dilahirkan layaknya kertas
putih, tanpa jenis kelamin, lalu setiap goresan dalam hidup yang akan mewarnai
kertas dan menentukan kamu maunya jadi lakik atau perempuan. It’s not just a
simple like that.
Saya tidak berani
jauh membahas dengan agama ataupun teori lebih dalam karena saya sendiri murni
masih belajar, saya ini masih cemen lah, tapi ini murni tulisan opini saya,
kalau ada yang tersinggung saya minta maaf, saya juga masih mau berteman kok.
Hanya saja dalam pernikahan saja tetap ada perbedaan pendapata apalagi dalam
pertemanan. Tapi ya balik ke awal tulisan lagi sih, saya masih tetap saklek gak
setuju (maaf).
Salam....*melipir
:D
Menteng, 130414,
10:52 PM
0 komentar:
Post a Comment