"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Sunday, April 20, 2014

Miris

Source: http://zerobs.net/media/Philosophy-vs.-religion.jpeg

Saya mau nyinyir lagi, maaf ya..
Saya merasa miris aja kalau ketika orang semakin pintar semakin di awan-awang kadang semakin agak malah nggak jelas prinsipnya. Hmm, terdengan salah banget ya kalimatnya, tapi saya susah mengungkapkannya. Mungkin kasih contoh aja ya..

Jadi misalnya pas dulu saya mondok di salah satu pesantren di Jawa Timur, ada cerita salah satu santri zaman dulu itu ada yang pengen skripsi atau apalah, tentang dimana Tuhan?. Banyak yang bilang orangnya itu pinter, cerdas, gak ukuran lah katanya. Tapi ketika semakin dia ngerjakan skripsinya itu, mencari keberadaan Gusti Allah, dia semakin gila, linglung, dan sudah nggak nyambung sama yang lain. Akhirnya sama pak Kyai disuruh diajak rame2 makan, masak-masak bareng, menunya sambel terong. Habis itu sembuhlah dia dan sudah tidak ada keinginan neliti alamatnya Gusti Allah. Di sadar bahwa itu salah.

Contoh lain mungkin kebanyakan sih kalau kita ngomongin filsafat kali ya, banyak kan teori filsafat yang kalau dipikir itu bertentangan dengan kepercayaan agama. Nah, disini yang saya miris. Karena jujur ya kalau saya belajar filsafat itu sebisa mungkin melepaskan pikiran agama, dan ketika full memegang agama saya lepasin filsafat apapun itu. Karena kalau menurut saya dua hal ini berbeda namun kita tidak bisa membandingkan dengan level yang sama. Atau kalopun mau membandingkan benar-benar harus belajar dua-duanya dengan benara. Jadi, kalau kita itu nggak belajar agama dengan benar dan benar-benar paham secara teori dan aplikasi, jangan langsung lah bilang kalo apa yang ada di kitab suci itu salah, bertentangan dengan logika lah, gak rasional lah. Saya takut lo, kalo justru sikap kita yang gitu itu salah kaprah, agama gak paham betul, ilmu filsafat ngertinya salah kaprah, miris kan?


Menteng, 130414, 11:08 PM

Saturday, April 19, 2014

Jenis kelamin itu oposisi biner, sudahlah jangan dibantah!

Source: google images

Bermula dari siang ini, ketika di perpustakaan kampus yang luas dengan ribuan buku-buku, samar tapi jelas terdengan suara laki-laki dan perempuan (banyak, berkelompok, mungkin gank) sedang berbincang di ruangan sebelah. Suara mereka tetap terdengan jelas meskipun apa yang mereka bicarakan tak bisa saya tangkap. Diantara sekelompok suara itu, ada satu suara mendominasi, suara seorang laki-laki yang intonasinya sangat perempuan namun masih dengan vibre bassnya. Fenomena laki-laki yang merasa didzolimi oleh tubuhnya sendiri ini memang merisaukan, mungkin benar zaman nabi Luth berulang (naudzubilahimindalik).

Meskipun saya sudah tidak terbilang muda dan latar belakang pendidikan yang bisa dibilang lumayan tinggi, namun untuk wacana laki-laki “belok” ini saya masih menentang. Yah, sebagai mahasiswa pascasarjana komunikasi yang ikut mata kuiah minoritas, cultural studies, dan posmodern, fenomena tersebut dibilang lumrah. Mungkin itu juga bisa jadi contoh dekonstruksi derrida yang menentang definisi absolut, dekonstruksi akan jenis kelamin yang tak lagi lelaki perempuan. Atau mungkin konsep Freud?Foucault? atau mungkin fenomenologi Levinas tentang kebertubuhan yang jelas membedakan antara tubuh dan badan.

Secara logika semua itu memang masuk akal, mereka punya alasan yang kuat akan segala pemikiran yang di ungkapkan dan dipublikasikan. Bahan Jerman kalau tidak salah, negara pertama yang menetapkan peraturan jenis kelamin “belum ditentukan” pada bayi yang lahir. Tapi jujur saya masih belum bisa menerima akan rasionalitas itu. Sebutlah Freud mengatakan bahwa secara jasmaniah setiap orang memang punya apa yang disebut sebagai panggilan jiwa, kalau seseorang menjadi apa yang dia sekarang ini, menururt Freud kita harus menarik ke sejarah kehidupannya, kita harus melihat faktor psikoanalisis. Sebuah alasan yang menurut saya sebuah excuse, alasan logika yang seolah menormalisasi segala hal, semua dianggap lumrah.

Saya masih percaya untuk jenis kelamin itu ya oposisi biner, hanya ada dua laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak bisa dibandingkan seperti membandingkan hitam dan putih, karena laki-laki dan perempuan itu berbeda, sangat berbeda. Tapi tetap tidak lumrah kalau laki-laki itu suka sama laki-laki, laki-laki itu ya nggak jalan lebih melambai daripada mereka yang ikut ajang miss-miss apalah itu. Okelah, kalian boleh bilang itu kan hanya konstruksi sosial, setiap orang berkhak untuk mengekspresikan diri, dan siapa bilang laki-laki gak boleh pake pink? Sudahlah....
           
Baiklah, alasan itu boleh, tapi laki-laki yang sudah merasa dikhianati tubuhnya itu beda masalahnya dengan laki-laki pake pink! Bukan sebuah pilihan juga. Kalau memang kita diberi pilihan mungkin memang dari awal kita dilahirkan layaknya kertas putih, tanpa jenis kelamin, lalu setiap goresan dalam hidup yang akan mewarnai kertas dan menentukan kamu maunya jadi lakik atau perempuan. It’s not just a simple like that.

Saya tidak berani jauh membahas dengan agama ataupun teori lebih dalam karena saya sendiri murni masih belajar, saya ini masih cemen lah, tapi ini murni tulisan opini saya, kalau ada yang tersinggung saya minta maaf, saya juga masih mau berteman kok. Hanya saja dalam pernikahan saja tetap ada perbedaan pendapata apalagi dalam pertemanan. Tapi ya balik ke awal tulisan lagi sih, saya masih tetap saklek gak setuju (maaf).

Salam....*melipir :D

Menteng, 130414, 10:52 PM



Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.