"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Sunday, December 7, 2014

Titik Jenuh

Source: Google Images


Untuk dapat melesat jauh, anak panah perlu ditarik sekuat mungkin,

Untuk dapat terpental jauh ke atas, sebuah bola harus dilempar keras,
Untuk dapat menyembul ke atas air, sebuah balon harus ditekan dan ditenggelamkan ke dalam air dulu,
Bahkan sebuah teori kurva J dari Ian Bremmer menyatakan bahwa sebelum sebuah negara ada di titik tertinggi ia harus melewati titik paling rendah, melewati kekacauan.


Saya pun merasa sedang melewati keadaan itu, sedang ditarik, ditekan, dilempar, kacau dan ada pada titik jenuh. Kalau ikut anak kekinian bisa saja disebut "mungkin saya lelah".
Atau bisa saja disebut galau? bimbang saya rasa lebih tepat.
Semua itu bermula beberapa bulan yang lalu, ketika hubungan saya dengan seseorang yang serius semakin mendekati keraguan, kita sedang mengalami dialektika, pertentangan.
Hubungan yang dirasa baik-baik saja itu ternyata tidak baik-baik saja, seolah gunung es. Masalah yang selama ini terkesan remeh temeh muncul ke permukaan. Mungkin bisa saja karena faktor jarak yang sejak awal ada dalam hubungan, jarak yang entah kapan bisa terlipat mendekat.

Sesuai dengan hukum dialektika, kami juga tidak ingin menyelesaikan dengan ya atau tidak. Namun, lebih menarik ke belakang, melihat lebih luas tentang apa yang kami inginkan dalam hubungan. Siapa diri kita dan orang seperti apa yang kami butuhkan untuk menghabiskan sisa hidup.

Masalah tersebut selalu saya anggap sebagai sebuah kerikil yang sakit namun masih bisa ditahan atau dilupakan dengan jalannya waktu. Saya juga teringat dulu pernah berujar bahwa cukup satu malam untuk melupakan masalah percintaan dan keesokan harinya saya akan sudah bisa cengengesan lagi. Iya saya bisa lupa, tapi itu dulu. Iya saya bisa cengengesan, tapi tidak pas lagi sendiri. Dan hal ini yang malu untuk diungkapkan, mata saya berkeringat saat sendiri di dalam kereta malam yang sepi, perjalanan pulang ke kos. Saya merasa sendiri.

Dampaknya adalah, proposal tesis saya tak kunjung maju ke seminar, bahkan saya merasa produktif ke hal yang justru tidak penting. Saya juga susah fokus, beberapa kali salah angkot atau kebablasan lokasi turun dari tujuan semula.

Titik terendah ini membuat saya semakin berpikir bahwa saya harus lebih mendekatkan diri lagi pada Nya. Manusia tak akan pernah merasa sendiri kalau dia selalu dekat dengan Allah. Keadaan ini benar-benar menampar saya secara keras, keras sekali.

Satu hal yang masih belum bisa saya jawab juga, rahasia feeling seorang ibu. Mungkin, ketika saya menjadi ibu baru akan tahu rahasia kepekaan tersebut. Saat benar-benar merasa jatuh dan sakit (dalam arti sebenarnya) ibu saya menanyakan kabar atau hanya menyapa anaknya. Namun, satu rahasia lagi pula seorang anak yang jauh ini tak mampu jujur menceritakan semuanya, tak mau membuat khawatir alasannya.



Sebelum minggu ketiga proposal harus bisa seminar, agar bisa tenang liburan dan mungkin melakukan dialog akan dialektika hubungan saya.

Salemba, 071214, 08:12PM

Wednesday, November 12, 2014

terbiasa biasa

source: google images

manusia saling berinteraksi,
manusia saling berkomunikasi
manusia saling berselisih
manusia saling membutuhkan
manusia tak sanggup hidup sendiri
seegois apapun,
bahkan ketika ia jumawa bahwa dia bisa hidup sendiri, sadarkan
sebutir nasi yang ia rasa mampu ia beli pun memiliki campur tangan orang lain, bukan ia sulap sendiri.

hari ini, bukan mamu ngomongin manusia, tapi diri sendiri saja
iseng blogwalking nemu link ini...

http://www.hipwee.com/hiburan/bedanya-sikap-pasangan-yang-baru-jadian-dan-yang-udah-lama-pacaran/

mungkin karena kita terlalu terbiasa untuk biasa saja dari awal
mungkin karena kita merasa tahu satu sama lain
mungkin karena kita merasa biasa dengan biasa saja
atau
mungkin kita merasa gengsi untuk bermanis-manis
sehingga
semua ini terjadi, dan kita merasa tak biasa lagi.


Salemba, 12112014, 01:29 PM

Tuesday, June 3, 2014

Gaya Gravitasi

Source: by Atam

Sore itu, 28 mei sore menjelang petang lebih tepatnya menghabiskan pergantian senja ke malam di sebuah rooftop cafe di malang bersama pacar yang sudah dibela-belain libur tapi gantian dia yang kerjaannya lembur #dunangess :'). 

Segelas cokelat panas dan kopi serta wafel datang diantara percakapan kita tak mampu membuat saya abai dengan para pekerja bangunan itu. Bahkan fokus semakin berantakan ketika mereka yang ada di bangku belakang saya dan mampu saya tangkap meski tanpa ada niat sengaja menguping.
Sesekali saya diam sambil sesekali memperhatikan para pekerja karena tak berani melihatnya lama-lama. mereka juga secara jelas memperhatikan kami semua yang ada di rofftop karena letak mereka yang lebih atas membuat mereka leluasa melihat ke bawah. Cokelat panas yang biasanya nikmat terasa hambar.

Yang terpikir saat itu adalah apa ya yang dipikirkan pekerja itu sambil melihat kami yang bersantai menikmati sore sementara mereka bekerja tanpa waktu tanpa pengamanan dan sepertinya tanpa asuransi. Mungkin mereka berpikir betapa beruntungnya kami yang bisa menikmati senja dengan secangkir cokelat panas sambir bersenda gurau, berbincang ngalor ngidul, sementara mereka, jangankan cokelat panas, berpikir untuk istirahat sejenak pun rasanya sulit.

Keheningan saya berhenti saat tiba-tiba saya justru teringat prinsip gaya gravitasi bumi. Setiap benda mempunyai gravitasi bumi, sehingga ketika ia dilempar ke atas ia tak bisa menolak gaya itu, ia akan jatuh lagi ke bumi. Semakin berat massa benda maka ia akan paling cepat jatuh atau ia punya gaya gravitasi yang lebih berat. Lalu saya mencoba menganalogikan dengan manusia,tepatnya manusia dengan intelektualitas atau ilmu pengetahuan sebagai massanya. Banyak yang mengatakan semakin dewasa seseorang harusnya semakin bijak, mungkin salah satunya karena gaya gravitasi bumi. Semakin bertambah umur seseorang itu sebenarnya semakin berkurang kesempatanyya untuk berbuat positif di muka bumi. Semakin bertambah gaya garavitasinya untuk kembali ke bumi.

Melihat para pekerja tadi saya yang berusaha menambah massa saya dengan sekolah lagi ini berpikir, dan bersyukur dan merasa iba dengan mereka. Sebuah pikiran yang mungkin tak saya dapatkan saat masih belia masih ringan massa pengetahuan saya. Saya lalu ingat akan kata-kata Tan Malaka "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali". 

Aaaahh sungguh sore yang berat :')


Menteng, 030614, 01:52 PM (@ freedom Institute)

Sunday, April 20, 2014

Miris

Source: http://zerobs.net/media/Philosophy-vs.-religion.jpeg

Saya mau nyinyir lagi, maaf ya..
Saya merasa miris aja kalau ketika orang semakin pintar semakin di awan-awang kadang semakin agak malah nggak jelas prinsipnya. Hmm, terdengan salah banget ya kalimatnya, tapi saya susah mengungkapkannya. Mungkin kasih contoh aja ya..

Jadi misalnya pas dulu saya mondok di salah satu pesantren di Jawa Timur, ada cerita salah satu santri zaman dulu itu ada yang pengen skripsi atau apalah, tentang dimana Tuhan?. Banyak yang bilang orangnya itu pinter, cerdas, gak ukuran lah katanya. Tapi ketika semakin dia ngerjakan skripsinya itu, mencari keberadaan Gusti Allah, dia semakin gila, linglung, dan sudah nggak nyambung sama yang lain. Akhirnya sama pak Kyai disuruh diajak rame2 makan, masak-masak bareng, menunya sambel terong. Habis itu sembuhlah dia dan sudah tidak ada keinginan neliti alamatnya Gusti Allah. Di sadar bahwa itu salah.

Contoh lain mungkin kebanyakan sih kalau kita ngomongin filsafat kali ya, banyak kan teori filsafat yang kalau dipikir itu bertentangan dengan kepercayaan agama. Nah, disini yang saya miris. Karena jujur ya kalau saya belajar filsafat itu sebisa mungkin melepaskan pikiran agama, dan ketika full memegang agama saya lepasin filsafat apapun itu. Karena kalau menurut saya dua hal ini berbeda namun kita tidak bisa membandingkan dengan level yang sama. Atau kalopun mau membandingkan benar-benar harus belajar dua-duanya dengan benara. Jadi, kalau kita itu nggak belajar agama dengan benar dan benar-benar paham secara teori dan aplikasi, jangan langsung lah bilang kalo apa yang ada di kitab suci itu salah, bertentangan dengan logika lah, gak rasional lah. Saya takut lo, kalo justru sikap kita yang gitu itu salah kaprah, agama gak paham betul, ilmu filsafat ngertinya salah kaprah, miris kan?


Menteng, 130414, 11:08 PM

Saturday, April 19, 2014

Jenis kelamin itu oposisi biner, sudahlah jangan dibantah!

Source: google images

Bermula dari siang ini, ketika di perpustakaan kampus yang luas dengan ribuan buku-buku, samar tapi jelas terdengan suara laki-laki dan perempuan (banyak, berkelompok, mungkin gank) sedang berbincang di ruangan sebelah. Suara mereka tetap terdengan jelas meskipun apa yang mereka bicarakan tak bisa saya tangkap. Diantara sekelompok suara itu, ada satu suara mendominasi, suara seorang laki-laki yang intonasinya sangat perempuan namun masih dengan vibre bassnya. Fenomena laki-laki yang merasa didzolimi oleh tubuhnya sendiri ini memang merisaukan, mungkin benar zaman nabi Luth berulang (naudzubilahimindalik).

Meskipun saya sudah tidak terbilang muda dan latar belakang pendidikan yang bisa dibilang lumayan tinggi, namun untuk wacana laki-laki “belok” ini saya masih menentang. Yah, sebagai mahasiswa pascasarjana komunikasi yang ikut mata kuiah minoritas, cultural studies, dan posmodern, fenomena tersebut dibilang lumrah. Mungkin itu juga bisa jadi contoh dekonstruksi derrida yang menentang definisi absolut, dekonstruksi akan jenis kelamin yang tak lagi lelaki perempuan. Atau mungkin konsep Freud?Foucault? atau mungkin fenomenologi Levinas tentang kebertubuhan yang jelas membedakan antara tubuh dan badan.

Secara logika semua itu memang masuk akal, mereka punya alasan yang kuat akan segala pemikiran yang di ungkapkan dan dipublikasikan. Bahan Jerman kalau tidak salah, negara pertama yang menetapkan peraturan jenis kelamin “belum ditentukan” pada bayi yang lahir. Tapi jujur saya masih belum bisa menerima akan rasionalitas itu. Sebutlah Freud mengatakan bahwa secara jasmaniah setiap orang memang punya apa yang disebut sebagai panggilan jiwa, kalau seseorang menjadi apa yang dia sekarang ini, menururt Freud kita harus menarik ke sejarah kehidupannya, kita harus melihat faktor psikoanalisis. Sebuah alasan yang menurut saya sebuah excuse, alasan logika yang seolah menormalisasi segala hal, semua dianggap lumrah.

Saya masih percaya untuk jenis kelamin itu ya oposisi biner, hanya ada dua laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak bisa dibandingkan seperti membandingkan hitam dan putih, karena laki-laki dan perempuan itu berbeda, sangat berbeda. Tapi tetap tidak lumrah kalau laki-laki itu suka sama laki-laki, laki-laki itu ya nggak jalan lebih melambai daripada mereka yang ikut ajang miss-miss apalah itu. Okelah, kalian boleh bilang itu kan hanya konstruksi sosial, setiap orang berkhak untuk mengekspresikan diri, dan siapa bilang laki-laki gak boleh pake pink? Sudahlah....
           
Baiklah, alasan itu boleh, tapi laki-laki yang sudah merasa dikhianati tubuhnya itu beda masalahnya dengan laki-laki pake pink! Bukan sebuah pilihan juga. Kalau memang kita diberi pilihan mungkin memang dari awal kita dilahirkan layaknya kertas putih, tanpa jenis kelamin, lalu setiap goresan dalam hidup yang akan mewarnai kertas dan menentukan kamu maunya jadi lakik atau perempuan. It’s not just a simple like that.

Saya tidak berani jauh membahas dengan agama ataupun teori lebih dalam karena saya sendiri murni masih belajar, saya ini masih cemen lah, tapi ini murni tulisan opini saya, kalau ada yang tersinggung saya minta maaf, saya juga masih mau berteman kok. Hanya saja dalam pernikahan saja tetap ada perbedaan pendapata apalagi dalam pertemanan. Tapi ya balik ke awal tulisan lagi sih, saya masih tetap saklek gak setuju (maaf).

Salam....*melipir :D

Menteng, 130414, 10:52 PM



Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.