Sudahlah, kalau
memang merasa sakit, makan, minum obat, dan tidur saja sana!
Mungkin itu yang
harusnya saya ucapkan pada diri sendiri kalau lagi merasa tidak sehat. Terbukti
hari ini saya merasakan akibatnya.
Mungkin memang
karena UAS, namun lebih pada pikiran pribadi, kita yang membuat UAS ini seolah
sebuah hal yang besar, pertarungan hidup dan mati seperti perang di perbatasan.
Padahal bisa saja saya berspekulasi kalau UAS is just easy peasy lemon squizzy.
Just a pice of cake, keciiilll g kayak mikir negara. Tapi, atmosfir di kampus
turut membawa nuansa kengerian karena UAS datang.
Jadi, bermula
hari rabu, persiapan maksimal untuk presentasi terakhir di semester satu,
presentasi Filsafat. Materi yang mengucapkannya saja sudah membuat merinding
ini membuat saya menginap di rumah teman saya karena takut dengan “humiliated
situation after presentation”. Jadi, dosen filsafat saya ini tidak segan-segan
untuk mengatakan presentasi jelek, konten salah atau tidak relevan, dan mungkin
paling kasar (yang memang belum pernah terdengan di kelas namun pernah
diucapkan di angkatan sebelumnya) kelompok ini bodoh. Bagaimana tidak ngeri
pemirsa?. Kamis pagi saya akhirnya merasakan bagaimana itu berperang melawan
desakan penumpang Commuter Line menuju Jakarta pagi hari. Karena rumah teman
saya memang Depok, jadi saya harus ikut arus mainstream, rela digencet dan
menggencet penumpang lain.
Alhamdulillah,
presentasi kami dibilang bagus, tapi harus mampu menjawab pertanyaan dosen agar
bisa dikatakan memahami materi, dan sepertinya kami yakin bisa menjawabnya. Aura
bahagia setelah UAS seketika hilang saat dosen memberikan 11 soal UAS, meskipun
beliau mengatakan hanya ada 2 yang keluar saat UAS, tapi tetap saja 11 soal itu
seperti satu tim sepak bola yang siap menyerang dang harus kita tackling agar
kita menang.
Hari Jumat, saya
harus ke Depok ada urusan terkait administrasi dan lain-lain. Jadi, karena
program pascasarjana ini berkampus di Salemba Jakarta, urusan surat menyurat
tetap harus di Depok. Pergi ke Depok dengan sambil membawa tugas Kommas yang
harus dikumpulkan siang hari, dan saya belum selesai, cakep! Semua ini karena
Filsafat, dan semua ini karena saya kuliah, dan ini sudah resiko, tanggung
jawab lebih tepatnya. Sok bijak, memang!!
Setelah kuliah
jumat itu, kami masih betah di kampus apalagi kalau tidak ngobrolin soal MPK,
mata kuliah yang absurd, hanya mereka yang juga masuk kategori absurd yang bisa
memahaminya, semoga termasuk saya sih, berharap?memang!!
Sabtu yang
harusnya saya buat tidur tapi perpus seolah memaksa saya menyambanginya,
lagi-lagi diskusi MPK, Metode Penelitian Kuantitaif yang berlangsung sampai
sore bahkan malam. Dan mungkin kalau saya disalahkan saya terima tapi saya juga
punya alasan kuat, Kiai Kanjeng sedang tampil di TIM, siapa yang kuat akan
godaan satu ini?dan terbukti saya rela begadang untuk menyaksikan bagaimana
musikalitas Kiai Kanjeng ini memang layak kalau mereka dipuji ketika tampil di
tempat Vivaldi, sang maestro itu pernah tampil. Lalu saya melewatkan saja
ketika mereka tampil di TIM?tentu tidak!
Akibatnya, minggu
seharian saya seperti ayam sayur, lemes ngantuk tak henti-hentinya dan pusing. Paracetamol
menjadi teman saya hari minggu itu.
Senin, perang di
hari pertama melawan MPK saya rasa saya lalui dengan cukup lancar, semoga
hasilnya sesuai ekspektasi saya, paling tidak A- atau A. Berharap lagi. Memang!!
Puncaknya adalah
selasa, ketika senin malam saya harus memaksa mata untuk melek mengerjakan
paper UAS mata kuliah Teori Sosial. namun, entah kenapa mata tak mau melek
bahkan sampai saya lawan dengan mandi di saat shubuh. Jam 8 pagi saya menuju
kampus untuk mengumpulkan paper, dan memang sudah berencana untuk ke
perpustakaan freedom untuk menambah referensi akan filsafat. Setelah mengumpulkan
tugas, saya sarapan dan terasa mual, oh ini kode kalau saya memang sedang tidak
sehat. Tapi saya sekali lagi memaksa untuk ke Freedoom, sebelumnya saya mampir
ke Indomaret di sekitar Matraman untuk beli antangin, obat segala kondisi
(bukan iklan). Saat turun dari Kopaja di depan Freedom saya mencari hp saya,
dan nihil. Sampai saya masuk ke toilet freedom untuk mengacak-acak isi tas (karena
mengacak-acak di jalan sepertinya terlihat aneh) dan hasilnya kembali nihil. Saya
lemas, tapi yang ada saya berusaha mengingat dimana terkahir saya
menggunakannya, dan Indomaret menjadi tersangka utama, karena saat memilih
makanan saya ingat dengan jelas saya masih menjawab wasap teman saya. Tanpa pikir
panjang saya memberhentikan bajaj dan menuju Indomaret tersebut, alhamdulillah
hp masih rezeki saya.
Kembali ke
freedom dan kembali membaca filsafat dan kembali ke medan perang menghadapi
sisa UAS sampai minggu depan.
Pelajaran moralnya adalah; sakit itu efek samping, jadi memang harus dihadapi dan kalau bisa dicegah saja. :)
Menteng, 171213, 08:24 PM