Sebuah sarana berpindahnya ide dari ruang yang disebut kamar
mandi ini memang mengejutkan. Bermula dari ruang 2x1 m inilah banyak tulisan
absurd saya muncul. Mulai yang isinya ‘ecek-ecek’ sampai skripsi yang disebut
sebagai masterpiece mahasiswa juga
muncul dari kamar mandi. Tapi kali ini bukan tentang kamar mandi yang akan saya
tulis :D.
Intermezzo diatas hanya memperkuat arti kamar mandi bagi
saya, mungkin saya harus lebih rajin mandi dan tidak menahan buang air kecil,
yang selama ini kadang lebih sering saya rapel *sangat tidak baik, jangan
dicontoh :P. Inspirasi sore ini
tiba-tiba saja teringat akan mainan saya waktu masih kecil.
Setelah dipikir-pikir dari kecil kita sudah masuk dan ikut
dalam bagian konstruksi sosial masyarakat. Sebuah pembentukan karakter dimulai
bahkan sesaat setelah kita mulai menyapa semesta dan isinya. Seorang bayi
perempuan harus ditindik telinganya, untuk menunjukkan identitasnya. Warna
popok, selimut, handuk, sampai sepatu juga seolah menunjukkan jenis kelamin
mereka; pink itu perempuan, biru itu laki-laki. Itulah konsep nurture,
bagaimana identitas seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Lelaki dan perempuan
tidak hanya sekedar sebuah jenis kelamin, namun sebuah gender, identitas
social, bahkan subjektivitas.
Konsep me-maintain
anak sesuai jenis kelamin mulai dari lahir diteruskan dengan mainan yang
menemani mereka tumbuh dan berkembang. Anak laki-laki itu main mobil-mobilan,
kalau perempuan sama boneka dan masak-masakan. Kenapa anak kecil itu tidak
memunyai sebuah hak protes atau hak menentukan pilihan, karena menurut saya
dari mainan itu sudah terlihat sebuah diskriminasi, peng-kotakan peran mereka
saat dewasa nantinya. Anak perempuan dengan boneka dan piranti memasak
menunjukkan bahwa mereka ada di area domestik; dapur, sumur dan kasur, dan
laki-laki ada di area publik.
Tapi saya merasa beruntung, masa kecil saya tidak sepenuhnya
terjerumus dalam konsep tadi. Ibu saya tidak pernah memanjakan saya dengan
boneka-boneka, mainan masak-masakan juga terbatas, yang paling saya ingat buku
lebih dipilih ibu saya untuk menemani anak-anaknya bermain. Mungkin ibu saya
berpikir bahwa dari buku saya bisa tahu tentang boneka sampai mobil. Tapi bukan
berarti saya tidak punya mainan sama sekali, I’m not so that nerd with the books only. Masa kecil saya sangat
bahagia, saya lebih diajari untuk memanfaatkan barang-barang yang tidak
terpakai untuk mainan, dan tak lupa selalu sudah diperiksa ibu saya apakah itu
aman atau tidak.
Saya banyak bermain di luar rumah, dan salah satu yang saya
syukuri saya terlahir di tempat yang masih banyak sawah dan tanah lapang, jadi
tak ada keresahan akan kendaraan yang berlalu lalang. Terlebih orangtua saya
lebih menyarankan untuk mengajak teman bermain di rumah daripada saya yang
berkeliaran, karena sepertinya mereka tahu kalau saya bisa tak kenal waktu bila
sedang bermain. Masa kecil tanpa internet ataupun social media itu lebih
menyenangkan, tak ada istilah turn off
your computer and go outside, alam semesta adalah ruang belajar paling
menakjubkan.
Mainan yang saya mainkan masih standar, dengan konsep
domestic tadi, namun saya masih diimbangi dengan buku-buku yang kalau dipikir
semua yang saya baca saat kecil terekam di memori. Ketika saya mengingat masa
kecil, cerita-cerita itu masih tersimpan. Buku cerita favorit saya adalah
serial petualangan Tono dan Tini yang tak bosan saya baca tiap hari. Manfaat
lain yang saya rasa dari buku-buku itu adalah perbendaharaan kata yang banyak,
namun sayangnya pelajaan mengarang tak begitu digubris di sekolah. Mengarang
hanya ada saat ujian bahasa Indonesia, sehingga saya tak terbiasa menulis.
Kembali pada tema mainan anak-anak, boneka yang identik
dengan perempuan tak begitu menarik hati saya, saya bahkan tak ingat berapa
jumlah boneka saya saat masih kecil. Jenis boneka pun saya tak ingat, atau
jangan-jangan saya memang tak punya boneka?:D. tapi yang paling saya ingat
justru membuat boneka sendiri dari kayu dan daun pisang sebagai rambutnya,
semacam Barbie handmade, minus lekuk
tubuh dan rambut pirang yang disebut sebagai sebuah konsep cantik.
Bicara soal Barbie, saya masih ingat waktu kecil saya memaca
sebuah artikel di majalah femina milik ibu saya, tentang seri Barbie hamil. Isi
artikel itu adalah peluncuran seri Barbie yang bisa hamil dan melahirkan, namun
banyak menuai protes karena dirasa memberikan contoh buruk bagi anak-anak.
Dimana setelah melahirkan dengan mencopot perut hamilnya, si Barbie akan
mendapatkan bentuk tubuh langsingnya dirasa memberikan konsep bahwa seseorang
bisa mendapatkan tubuh langsingnya setelah melahirkan, dan bla bla bla (saya
rasa teman-teman tahu akhir artikel ini). Setelah dipikir, saya amazed juga dengan diri saya, karena
saya ingat menceritakan artikel itu ke teman-teman SD saya, dan mereka seperti
mengerti tak mengerti dengan cerita saya. Selain artikel tentang Barbie, cerita
tentang seorang nenek yang melahirkan cucunya juga saya lahap, artikel ini
menceritakan sebuah konsep bayi tabung, karena seorang perempuan yang tak bisa
hamil akibat masalah di rahimnya, sehingga menggunakan rahim ibunya.
Kebiasaan membelikan buku juga ditiru oleh kakak saya, ia
ingin menanamkan budaya membaca untuk anaknya. Kakak saya semakin membatasi
mainan untuk anaknya, menggantinya dengan buku, dan berhasil. Keponakan saya
saat ini lebih sering meminta dibelikan buku daripada mainan seperti robot,
mobil mobilan, action figure dan lain sebagainya. Hal lain yang saya rasa
merupakan manfaat dari membaca adalah imajinasi, seorang anak akan lebih pintar
berimajinasi dan memunculkan ide-ide baru dari membaca. Semua itu dikarenakan
dengan membaca kita akan dituntut untuk memberikan sebuah ilustrasi dalam
pikiran kita akan tokoh dan jalan ceritanya. Berbeda dengan media visual
seperti TV atau film, disitu kita sudah mendapatkan ilustrasi tokoh dan cerita,
kita hanya dipaksa untuk menelan mentah-mentah apa yang disajikan.
Jika saya punya anak nanti saya juga akan menanamkan
kebiasaan membaca dan satu lagi adalah kebiasaan menulis. Menurut saya membaca
dan menulis tak bisa dipisahkan, karena imajinasi setelah melahap buku-buku
cerita itu harus bisa dikeluarkan dari ruang imajiner, salah satunya dengan
menulis.
Ah, tulisan ini juga harus saya hentikan sebelum saya
semakin meracau dan keluar dari tema awal saya. Happy reading ^-^….
Menteng, 07052012, 11:42 PM