"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Wednesday, May 9, 2012

Membaca, menulis lalu membaca lagi dan menulis lagi…




Sebuah sarana berpindahnya ide dari ruang yang disebut kamar mandi ini memang mengejutkan. Bermula dari ruang 2x1 m inilah banyak tulisan absurd saya muncul. Mulai yang isinya ‘ecek-ecek’ sampai skripsi yang disebut sebagai masterpiece mahasiswa juga muncul dari kamar mandi. Tapi kali ini bukan tentang kamar mandi yang akan saya tulis :D.

Intermezzo diatas hanya memperkuat arti kamar mandi bagi saya, mungkin saya harus lebih rajin mandi dan tidak menahan buang air kecil, yang selama ini kadang lebih sering saya rapel *sangat tidak baik, jangan dicontoh :P.  Inspirasi sore ini tiba-tiba saja teringat akan mainan saya waktu masih kecil.

Setelah dipikir-pikir dari kecil kita sudah masuk dan ikut dalam bagian konstruksi sosial masyarakat. Sebuah pembentukan karakter dimulai bahkan sesaat setelah kita mulai menyapa semesta dan isinya. Seorang bayi perempuan harus ditindik telinganya, untuk menunjukkan identitasnya. Warna popok, selimut, handuk, sampai sepatu juga seolah menunjukkan jenis kelamin mereka; pink itu perempuan, biru itu laki-laki. Itulah konsep nurture, bagaimana identitas seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Lelaki dan perempuan tidak hanya sekedar sebuah jenis kelamin, namun sebuah gender, identitas social, bahkan subjektivitas.

Konsep me-maintain anak sesuai jenis kelamin mulai dari lahir diteruskan dengan mainan yang menemani mereka tumbuh dan berkembang. Anak laki-laki itu main mobil-mobilan, kalau perempuan sama boneka dan masak-masakan. Kenapa anak kecil itu tidak memunyai sebuah hak protes atau hak menentukan pilihan, karena menurut saya dari mainan itu sudah terlihat sebuah diskriminasi, peng-kotakan peran mereka saat dewasa nantinya. Anak perempuan dengan boneka dan piranti memasak menunjukkan bahwa mereka ada di area domestik; dapur, sumur dan kasur, dan laki-laki ada di area publik.

Tapi saya merasa beruntung, masa kecil saya tidak sepenuhnya terjerumus dalam konsep tadi. Ibu saya tidak pernah memanjakan saya dengan boneka-boneka, mainan masak-masakan juga terbatas, yang paling saya ingat buku lebih dipilih ibu saya untuk menemani anak-anaknya bermain. Mungkin ibu saya berpikir bahwa dari buku saya bisa tahu tentang boneka sampai mobil. Tapi bukan berarti saya tidak punya mainan sama sekali, I’m not so that nerd with the books only. Masa kecil saya sangat bahagia, saya lebih diajari untuk memanfaatkan barang-barang yang tidak terpakai untuk mainan, dan tak lupa selalu sudah diperiksa ibu saya apakah itu aman atau tidak.

Saya banyak bermain di luar rumah, dan salah satu yang saya syukuri saya terlahir di tempat yang masih banyak sawah dan tanah lapang, jadi tak ada keresahan akan kendaraan yang berlalu lalang. Terlebih orangtua saya lebih menyarankan untuk mengajak teman bermain di rumah daripada saya yang berkeliaran, karena sepertinya mereka tahu kalau saya bisa tak kenal waktu bila sedang bermain. Masa kecil tanpa internet ataupun social media itu lebih menyenangkan, tak ada istilah turn off your computer and go outside, alam semesta adalah ruang belajar paling menakjubkan.  

Mainan yang saya mainkan masih standar, dengan konsep domestic tadi, namun saya masih diimbangi dengan buku-buku yang kalau dipikir semua yang saya baca saat kecil terekam di memori. Ketika saya mengingat masa kecil, cerita-cerita itu masih tersimpan. Buku cerita favorit saya adalah serial petualangan Tono dan Tini yang tak bosan saya baca tiap hari. Manfaat lain yang saya rasa dari buku-buku itu adalah perbendaharaan kata yang banyak, namun sayangnya pelajaan mengarang tak begitu digubris di sekolah. Mengarang hanya ada saat ujian bahasa Indonesia, sehingga saya tak terbiasa menulis.

Kembali pada tema mainan anak-anak, boneka yang identik dengan perempuan tak begitu menarik hati saya, saya bahkan tak ingat berapa jumlah boneka saya saat masih kecil. Jenis boneka pun saya tak ingat, atau jangan-jangan saya memang tak punya boneka?:D. tapi yang paling saya ingat justru membuat boneka sendiri dari kayu dan daun pisang sebagai rambutnya, semacam Barbie handmade, minus lekuk tubuh dan rambut pirang yang disebut sebagai sebuah konsep cantik.

Bicara soal Barbie, saya masih ingat waktu kecil saya memaca sebuah artikel di majalah femina milik ibu saya, tentang seri Barbie hamil. Isi artikel itu adalah peluncuran seri Barbie yang bisa hamil dan melahirkan, namun banyak menuai protes karena dirasa memberikan contoh buruk bagi anak-anak. Dimana setelah melahirkan dengan mencopot perut hamilnya, si Barbie akan mendapatkan bentuk tubuh langsingnya dirasa memberikan konsep bahwa seseorang bisa mendapatkan tubuh langsingnya setelah melahirkan, dan bla bla bla (saya rasa teman-teman tahu akhir artikel ini). Setelah dipikir, saya amazed juga dengan diri saya, karena saya ingat menceritakan artikel itu ke teman-teman SD saya, dan mereka seperti mengerti tak mengerti dengan cerita saya. Selain artikel tentang Barbie, cerita tentang seorang nenek yang melahirkan cucunya juga saya lahap, artikel ini menceritakan sebuah konsep bayi tabung, karena seorang perempuan yang tak bisa hamil akibat masalah di rahimnya, sehingga menggunakan rahim ibunya.

Kebiasaan membelikan buku juga ditiru oleh kakak saya, ia ingin menanamkan budaya membaca untuk anaknya. Kakak saya semakin membatasi mainan untuk anaknya, menggantinya dengan buku, dan berhasil. Keponakan saya saat ini lebih sering meminta dibelikan buku daripada mainan seperti robot, mobil mobilan, action figure dan lain sebagainya. Hal lain yang saya rasa merupakan manfaat dari membaca adalah imajinasi, seorang anak akan lebih pintar berimajinasi dan memunculkan ide-ide baru dari membaca. Semua itu dikarenakan dengan membaca kita akan dituntut untuk memberikan sebuah ilustrasi dalam pikiran kita akan tokoh dan jalan ceritanya. Berbeda dengan media visual seperti TV atau film, disitu kita sudah mendapatkan ilustrasi tokoh dan cerita, kita hanya dipaksa untuk menelan mentah-mentah apa yang disajikan.

Jika saya punya anak nanti saya juga akan menanamkan kebiasaan membaca dan satu lagi adalah kebiasaan menulis. Menurut saya membaca dan menulis tak bisa dipisahkan, karena imajinasi setelah melahap buku-buku cerita itu harus bisa dikeluarkan dari ruang imajiner, salah satunya dengan menulis.


Ah, tulisan ini juga harus saya hentikan sebelum saya semakin meracau dan keluar dari tema awal saya. Happy reading ^-^….

 Menteng, 07052012, 11:42 PM

Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.