"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Monday, April 9, 2012

Kangen itu (sederhana)

Sore ini, ngilunya gigi ini tidak mampu untuk menghapus rasa kangen, kangen akan segalanya. Kangen akan memori masa lalu, kangen ayah ibuk, dan klimaksnya adalah kangen kamu. Kangen ini sebenarnya sederhana, secara sederhana ia datang, namun mengatasinya itu yang tidak sederhana. Terlebih sore ini hujan masih menyapa Batavia, lalu apa hubungannya kangen dengan hujan?. Saat hujan kita pasti akan sering bengong, suara hujan mampu mengajak kita hanyut dalam sebuah distorsi perasaan, sehingga secara sederhana pula rasa kangen itu muncul. Itu hipotesis saya akan teori hujan dan kangen. 


Sebenarnya, perasaan kangen saya ini sepertinya sebuah akumulasi dari kangen-kangen yang teratasi saja belum, tapi sudah ditambah kangen yang lain. Akumulasi itu bertambah justru sesudah saya pulang kampung, sebenarnya bukan pulang kampung juga, karena Malang bukan kampung halaman saya. Lebih tepatnya, bertemu orang-orang tercinta saya, keluarga. Saya pikir, ketika bertemu dengan mereka, lalu kembali ke rutinitas saya yang mengharuskan jauh dari mereka akan mengobati kangen. Namun, itu semua salah, perasaan kangen itu justru semakin parah. Saya kangen saat-saat bersama mereka tiap hari, dari saat membuka mata sampai saat terlelap pun mereka ada di samping kita. Ah, sepertinya saya justru sedang menyesali kenapa saat masih dekat dengan mereka, dulu, tidak pernah menggunakan waktu secara intensif. Memang jarak mampu membuktikan kadar pentingnya keberadaan seseorang.  


Tapi, perasaan kangen ini yang mampu mengalahkan angkuhnya jarak. Secara batin saya merasa makin dekat dengan mereka, lebih perhatian dengan keadaan mereka, sehatkah?, adik kapan ujian?, atau telepon ayah pagi hari yang cuma sekadar menanyakan sedang apa anaknya disini. Jarak, sudah lama saya meyakini bukanlah sebuah hal yang harus dipermasalahkan, namun komunikasi adalah intinya, distance is not a problem but communication is. 


Jarak itu pula yang menjadi sebuah komitmen yang harus saya hadapi dengan seseorang yang saya sebut pacar. Sebenarnya tidak jauh, butuh 4 jam saja untuk saya menemuinya, meski yang sering terjadi dialah yang menempuh jarak itu untuk saya. Pada awalnya kami sempat merasa dipusingkan dengan ini semua, tapi kami sampai sekarang masih percaya bahwa sebuah perasaan yang sesungguhnya tidak mudah didapat, perlu ada perjuangan, perlu ada pengorbanan.  


Saya juga kangen dengan masa-masa kebersamaan saya dengan sahabat saya, mpok dan sofi. Teman, sahabat, keluarga itulah arti mereka buat saya. Saya ingat ucapan yang saya tulis di skripsi untuk mereka, they’re like chocolate, makes me addicted to them. Clueless is a word that can describe my feeling towards them. Pertemanan kami mampu membuat saya lebih terbuka, menunjukkan karakter saya yang sesungguhnya. Karena jarak, saya jadi lebih sering bercerita segalanya ke mereka, tak seperti dulu butuh sebuah tekad yang absolute untuk benar-benar menceritakan semua perasaan saya.  


Lihatlah, perasaan kangen itu sederhana sekali datangnya, apa saja mampu membuat kita terjebak dalam perasaan itu. Manusia memang makhluk yang dianugerahi kemampuan membaca kode, meski kemampuan ini kadang menyebalkan bila sudah terkait dengan si kangen. Melihat foto, kangen. Mendengar hujan, kangen. Mencium bau parfum, kangen.  


Inti dari tulisan ini memang saya sedang kangen, saya sekali lagi ingin mengatakan saya terjebak ke dalam nostalgia, saya dipermainkan oleh jarak, dan saya bersyukur karena kangen juga mengingatkan saya untuk bersyukur ada di sekeliling orang yang mencintai saya, tanpa syarat. I do really love you all :* 


Ditulis sambil terdengar lagu kangen dari dewa, dan ditulis dengan sesekali mewek :’( 


Menteng, 09042012, 7;33 PM

Saya

My Photo
perempuan yang tak bisa mengerti kemauan diri sendiri

buku tamu

Rekan

Powered by Blogger.