 |
'coba tanya pada mereka, maka banyak sekali cerita akan obsesi yang mucul dari wajah lugu itu' |
Kembali dari masa hibernasi, sebuah tidur panjang untuk mengingat masa kecil saya. Pelan tapi pasti, pikiran bawah sadar seakan memanggil kembali semua kenangan dan memori. Tiap hal kecil di sekeliling menjadi pengantar memori itu. Semua yang kasat mata menjadi simbol, semiotic, dan akhirnya bermakna, bahkan tak jarang membuat saya senyum-senyum sendiri karena mengingat betapa lucu, polos, dan bodohnya masa kecil itu. Namun terpancar sebuah kejujuran yang kadarnya tak bisa dibandingkan.
Suatu pagi, sebelum berangkat kerja, ketika berkaca, saya senyum-senyum sendiri. Kebiasaan ini juga ada ketika saya masih kecil. Selalu konsentrasi melihat ibu yang sedang berdandan, lalu saya menghafal yang ada di meja rias beserta fungsinya, dan ketika ada kesempatan, saya lari ke dalam kamar, menguncinya. Mulailah saya melukis wajah ini dan menghayal betapa indahnya menjadi dewasa.
Memang sebuah kebiasaan standard, hampir semua anak kecil melakukannya, a sweet crime. Selain mengobrak-abrik meja rias, seakan belum puas bila isi lemari baju tidak terjamah tangan kecil jahil. Bahkan seingat saya, pernah dalam satu sore saya ganti baju tiga atau empat kali, bukan karena kotor atau apa, tapi merasa kurang ‘matching’ dengan suasana hati. Apalagi lewat perempuan cantik dan luar biasa, Ibu saya, perempuan yang suka dan bisa menjahit, tercipta baju yang indah dari tangannya. Feel like a princess, dengan baju yang jelas berbeda dengan anak kecil lainnya.
Segala hal tentang baju ini akhirnya saya sadari sebagai sebuah kelebihan tersendiri buat saya. Beberapa waktu terakhir ini sering di minta untuk modifikasi desain baju, meski lingkupnya terbatas, tapi rasanya puas melihat mereka memakai baju itu dengan bangga. Dan saya masih punya obsesi untuk bisa menggambar, setidaknya design baju, karena selama ini hanya bisa membuat design di otak saja. Saya pernah post tentang design, karena saya sangat menyukai hasil karya gila orang lain, design is a life. Untuk design inipun membuat saya berpikir 'i want dating an architect', korelasinya adalah, saya tak bisa menggambar, sementara saya ingin punya sebuah rumah sesuai design yang ada di otak saya.
Saya juga punya obsesi menjadi penulis, melihat buku kita dibaca orang, membuat pembaca berimajinasi dengan kata-kata kita, memberikan sensasi pada emosi dan imajinasi mereka. Obsesi yang satu ini (lagi-lagi) karena ibu saya yang memanjakan anak-anaknya dengan segala macam buku cerita. Saya tumbuh bersama imajinasi, pencitraan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. Ada kancil yang licik namun cerdik, ada buaya yang sombng naun bodoh, ada cerita tono dan tini, negeri 1001 malam, bahkan sampai tenggelamya kapal van der wijk. Saya jadi ingat, kalau saya sudah mulai lancar membaca sejak TK, bukan bermaksud sombong, tapi memang itulah faktanya. Berbagai bacaan dari buku cerita, Koran, bahkan buku pelajaran biologi SMA pun menjadi korban rasa ingin tahu saya. Intinya, semua hal yang mengandung huruf, kalimat, dan paragraph memiliki daya tarik tersendiri dan saya terpikat.
Terbiasa tumbuh dengan bacaan itu membangkitkan daya imajinasi saya, semua cerita dan analogi berusaha saya gambarkan dalam pikiran. Membayangkan memiliki sepatu kaca, bertemu pangeran berkuda putih, atau permadani terbang aladin. Terkesan penuh khayalan, namun itu justru inti darimana keinginan saya membuat sebuah tulisan dan memberikan efek yang paling tidak sama dengan yang saya rasakan. Saya pun akhirnya menyadari darimana munculnya kebiasaan melakukan analisis akan segala hal, terutama saat ada di perjalanan. Melihat sekumpulan ibu-ibu di jalan, maka budaya bergosip terlintas di benak saya. Ada kakek yang sedang bermain dengan cucunya membuat saya iri, dan merindukan kakek. Bahkan kucing butut yang sedang berjalan pun membuat saya memikirkan sebuah tulisan dengan tema “potret buruk kucing Indonesia”.
Bersamaan dengan kebiasaan itu, akhirnya saya selalu bersemangat ketika ada aba-aba ayo pergi, ayo jalan-jalan. Hal itu berarti saya bisa membuat cerita sepanjang perjalanan, meskipun cerita itu hanya saya dan tuhan yang tahu alurnya, karena memang tak pernah memiliki alur yang jelas. Ritual berkhayal ini akhirnya tidak hanya terbatas ketika saya mengisi waktu kosong di perjalanan, kamar mandi pun menjadi korban selanjutnya. Saya sering selalu mencoba untuk membawa sebuah catatan di kamar mandi karena mencoba ingin menulis apa yang terlintas di ruang imajiner. Sayangnya saya kurang banyak tahu atau kurang mencari tahu agar apa yang menjadi kebiasaan saya itu ternyata memang hal yang normal. Kamar andi adalah sumber inspirasi, analoginya adalah ketika bagian bawah mengeluarkan sisa yang tak berguna bagi tubuh, bagian atas (otak) justru sedang kerasukan ide-ide yang bisa dikatakan gila. Salah satu keinginan saya adalah, memasang whiteboard dan board marker di kamar mandi saya nantinya.
Adanya fakta saya sudah suka menganalisis, membangun ruang imajiner, mulai menemukan ide-ide di kamar mandi, dan bahkan mencatatatnya, seharusnya saya sudah bisa mengenali obsesi saya sebagai penulis (mungkin), atau menjadi apa yang biasa saya lakukan itu. Namun mengapa ketika pertanyaan cita-cita muncul, hanya profesi dokter, guru, astronot, yang justru muncul??. Saya berpikir, kurangnya informasi penyebabnya. Bahkan sistem pendidikan kita juga menuntun kita untuk menjadi ikut dalam sistem itu sendiri. Coba cari buku-buku TK/SD kita, lihat pada bagin pengenalan profesi, sepertinya terbatas pada (lagi-lagi) dokter, guru, perawat, dsb. Saya jadi tahu kenapa masyarakat kita masih terobsesi untuk menjadi Pegawai Negeri, mereka sudah masuk dalam sistem yang tersistem.
Lalu apa kabar dengan obsesi saya?. Blog ini mungkin salah satu media awal saya untuk menyalurkan, mengekspresikan, dan mewujudkan obsesi itu. Lalu cita-cita saya?, menjadi dokter ternyata bukan hal yang cocok untuk saya. Lalu profesi saya?, saat ini saya bekerja (semoga) masih sesuai dengan obsesi saya, namun yang jelas berbeda dengan cita-cita saya. Lalu apa bedanya obsesi dengan cita-cita?. Hal ini ternyata saya menyadari ada perbedaan dalam pemaknaannya. Cita-cita terlihat sesuatu yang lebih konkrit dan terlihat atau ada namanya. Sedangkan obsesi lebih pada passion, atau suatu hal yang kita mau dan kita mampu. Beruntung sekali bila kita sudah bisa menyebutkan cita-cita kita yang sesuai dengan obsesi kita, bagi yang tidak sinkron antar obsesi dan cita-cita, tak perlu merasa salah dalam mengambil jalan/tujuan. Kita masih bisa menyalurkan obsesi kita, mewujudkan passion kita meski di tengah-tengah ketidaknyamanan rutinitas. Untuk pembahasan passion sepertinya perlu posting tersendiri (dan ini PR lagi bagi saya).
Menteng, 08032012, 1:20AM